Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salam Damai Tersemai dari Masjid Kudus

Kompas.com - 30/07/2011, 03:15 WIB

Pembangunan Masjid Kudus diyakini dilaksanakan selang tiga tahun pascakemelut di Keraton Kesultanan Demak sepeninggal Sultan Trenggono (1521-1546) atau sekitar tahun 1549. Dulu, kawasan Masjid Kudus adalah dusun perdikan—tanah yang dihadiahkan oleh sunan kepada orang yang berjasa terhadap kesunanan—bernama Tajug, sekitar 30 kilometer sebelah timur bekas pusat Kesultanan Demak.

Arsitek Syafwandi dalam bukunya berjudul Menara Masjid Kudus: dalam Tinjauan Sejarah dan Arsitektur menyebutkan, inskripsi di atas mihrab itu menyebut angka 956 H atau sama dengan tahun 1549 Masehi sebagai tahun pembangunan Masjid Kudus.

Sunan Kudus mencoba mengusung silang hubungan keagamaan yang kompleks itu dengan menempatkan Masjid Kudus dekat dari pasar tradisional Tajug. Dalam perkembangannya, Masjid Kudus tak hanya menjadi pusat penyebaran agama Islam, tetapi juga pusat ekonomi. Kondisi itu mengundang banyak pendatang dari negeri lain ke Kudus Kulon. Setelah masa The Ling Sing, penyebar Islam dari Tionghoa, di Kudus Kulon juga berdatangan orang dari China pada gelombang kedua (sekitar abad ke-18) dan ketiga (abad ke-20). Demikian pula dengan kehadiran komunitas orang Arab yang kini menempati wilayah sekitar masjid yang lazim disebut sebagai Kauman.

Kerangka kebersamaan antarumat beragama sejak awal ditekankan Sunan Kudus dengan berbagai tradisi hidup bersama. Kelenteng Konghucu yang terletak 150 meter tenggara masjid dan berdiri sebelum Masjid Kudus hingga kini dipertahankan. Orang-orang Tionghoa leluasa beribadah dan berdagang di sekitar masjid. Dalam tradisi lokal, nilai-nilai toleransi juga diperkenalkan dengan adanya larangan menyembelih sapi, hewan yang disucikan umat Hindu.

Liong Kwok Tjun (53), warga keturunan Tionghoa yang tinggal 50 meter barat Masjid Agung, mengatakan, tidak pernah ada perilaku diskriminatif warga sekitar masjid terhadap orang keturunan seperti dirinya. Ia memandang warga Kudus sebagai wiraswasta yang giat dan lebih mengutamakan bekerja daripada mengurusi perbedaan.

”Itulah yang membuat kami pun merasa aman di sini. Mengalirnya pengunjung ke Masjid Agung juga berkah bagi semua umat,” kata pria yang lahir di Kudus ini.

Liong menuturkan, pada masa lalu, hubungan etnis Tionghoa dengan warga Muslim di sekitar masjid pernah mengalami masalah. Itu terjadi saat kerusuhan tahun 1919 dan 1980. Namun, kerusuhan kala itu lebih bernuansa politis daripada murni gesekan etnis. ”Buktinya, setelah kerusuhan itu, kami baik-baik saja karena memang tak pernah ada masalah sejak dulu,” katanya.

Kini, Masjid Kudus masih menjadi pusat keagamaan dan ekonomi masyarakat sekitar. Sebuah warisan konsep Jerusalem di Jawa yang tersemai sejak setengah milenium silam....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com