Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salam Damai Tersemai dari Masjid Kudus

Kompas.com - 30/07/2011, 03:15 WIB

M Burhanudin dan A Hendriyo Widi

Masjid Menara Kudus bukan sekadar tempat beribadah. Masjid ini menjadi pusat penyebaran dan ziarah Islam di Jawa Tengah. Arsitekturnya memadukan nilai akulturasi Hindu, Islam, Jawa, dan China. Di sinilah geliat ekonomi dan pluralisme di Kudus bermula. Tidak heran, peneliti dari Barat menyebutnya sebagai ”Jerusalem” di Jawa.

Berdiri di atas tanah 7.000 meter persegi di Kelurahan Kauman, Kecamatan Kota, Masjid Menara Kudus—lazim disebut Masjid Kudus—menjadi monumen dengan arsitektur lintas kultural. Bisa jadi, inilah satu-satunya masjid yang memadukan arsitektur Hindu, Islam, China, dan Jawa sekaligus dalam satu wujud bangunan.

Arsitektur Hindu tecermin kuat dari wujud menara setinggi 19 meter. Mirip candi Hindu langgam Jawa Timur, menara tersebut menjulang ramping dengan konstruksi batu bata.

Pagar kompleks masjid pun tersusun dari batu bata mirip benteng keraton, dilengkapi gerbang berbentuk regol. Gerbang utama berwujud gapura candi. Arsitektur Jawa terlihat pada bentuk bangunan utama masjid yang berwujud limasan. Demikian pula puncak menara.

Pernak-pernik bangunan, baik di menara maupun bangunan utama masjid, terukir dalam tatahan China dengan corak bunga. Di bagian tubuh menara tertanam sejumlah piring keramik China.

”Keragaman dalam arsitektur dan pernak-pernik masjid ini dari dulu tidak pernah kami ubah. Ini peninggalan Sunan Kudus yang berpesan agar kita menghormati penganut lain yang beragam di sekitar masjid ini,” ujar Denny Nurhakim, karyawan dokumentasi dan publikasi Yayasan Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus. Denny juga merupakan juru kunci masjid tersebut.

Mark Woodward, sejarawan asal Amerika Serikat, dalam tesisnya berjudul Jerusalem in Java mengungkapkan, gaya Hindu, Jawa, sekaligus China dalam arsitektur Menara Kudus seturut dengan pola strategi dakwah Sunan Kudus yang lebih mengutamakan dua tema dasar: integrasi Islam dengan budaya lokal dan anti-kekerasan.

Integrasi budaya itu memberikan ruang toleransi kepada warga sekitar masjid yang beragam. Hal ini, menurut Woodward, selaras dengan cita-cita Sunan Kudus membentuk ”holy city” sebagaimana kehidupan masyarakat di Masjid Al Aqsa di Jerusalem. Sunan Kudus pernah mengunjungi Jerusalem sebelum mendirikan Masjid Kudus. Masjid Kudus pun semula bernama Al Aqsa atau Al Quds (suci). Dari kata ”Al Quds” itulah nama ”Kudus” bermula, yang kemudian digunakan sebagai nama administratif Kabupaten Kudus saat ini.

Kota Jerusalem yang lekat dengan tiga simbol agama besar dunia, yaitu Masjid Al Aqsa (Islam), Gereja Suci Sepulchre (Kristen), dan Tembok Ratapan (Yahudi), diusung sebagai konsep pembangunan Masjid Kudus. Pada saat pendirian masjid, wilayah sekitar bakal Masjid Kudus memang telah dihuni empat agama yang sudah eksis, yakni Hindu, Konghucu, Kejawen, dan Islam.

Pembangunan Masjid Kudus diyakini dilaksanakan selang tiga tahun pascakemelut di Keraton Kesultanan Demak sepeninggal Sultan Trenggono (1521-1546) atau sekitar tahun 1549. Dulu, kawasan Masjid Kudus adalah dusun perdikan—tanah yang dihadiahkan oleh sunan kepada orang yang berjasa terhadap kesunanan—bernama Tajug, sekitar 30 kilometer sebelah timur bekas pusat Kesultanan Demak.

Arsitek Syafwandi dalam bukunya berjudul Menara Masjid Kudus: dalam Tinjauan Sejarah dan Arsitektur menyebutkan, inskripsi di atas mihrab itu menyebut angka 956 H atau sama dengan tahun 1549 Masehi sebagai tahun pembangunan Masjid Kudus.

Sunan Kudus mencoba mengusung silang hubungan keagamaan yang kompleks itu dengan menempatkan Masjid Kudus dekat dari pasar tradisional Tajug. Dalam perkembangannya, Masjid Kudus tak hanya menjadi pusat penyebaran agama Islam, tetapi juga pusat ekonomi. Kondisi itu mengundang banyak pendatang dari negeri lain ke Kudus Kulon. Setelah masa The Ling Sing, penyebar Islam dari Tionghoa, di Kudus Kulon juga berdatangan orang dari China pada gelombang kedua (sekitar abad ke-18) dan ketiga (abad ke-20). Demikian pula dengan kehadiran komunitas orang Arab yang kini menempati wilayah sekitar masjid yang lazim disebut sebagai Kauman.

Kerangka kebersamaan antarumat beragama sejak awal ditekankan Sunan Kudus dengan berbagai tradisi hidup bersama. Kelenteng Konghucu yang terletak 150 meter tenggara masjid dan berdiri sebelum Masjid Kudus hingga kini dipertahankan. Orang-orang Tionghoa leluasa beribadah dan berdagang di sekitar masjid. Dalam tradisi lokal, nilai-nilai toleransi juga diperkenalkan dengan adanya larangan menyembelih sapi, hewan yang disucikan umat Hindu.

Liong Kwok Tjun (53), warga keturunan Tionghoa yang tinggal 50 meter barat Masjid Agung, mengatakan, tidak pernah ada perilaku diskriminatif warga sekitar masjid terhadap orang keturunan seperti dirinya. Ia memandang warga Kudus sebagai wiraswasta yang giat dan lebih mengutamakan bekerja daripada mengurusi perbedaan.

”Itulah yang membuat kami pun merasa aman di sini. Mengalirnya pengunjung ke Masjid Agung juga berkah bagi semua umat,” kata pria yang lahir di Kudus ini.

Liong menuturkan, pada masa lalu, hubungan etnis Tionghoa dengan warga Muslim di sekitar masjid pernah mengalami masalah. Itu terjadi saat kerusuhan tahun 1919 dan 1980. Namun, kerusuhan kala itu lebih bernuansa politis daripada murni gesekan etnis. ”Buktinya, setelah kerusuhan itu, kami baik-baik saja karena memang tak pernah ada masalah sejak dulu,” katanya.

Kini, Masjid Kudus masih menjadi pusat keagamaan dan ekonomi masyarakat sekitar. Sebuah warisan konsep Jerusalem di Jawa yang tersemai sejak setengah milenium silam....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com