Dalam kasus Prita, saya khawatir bahwa itu telah terabaikan (over het hoofd gezien) oleh MA untuk mempertimbangkan hal ini sebelum masuk ke masalah dirinya berhak atau tidak mengadili permohonan kasasi atas putusan bebas. Saya sendiri belum membaca putusan yang menghebohkan tersebut. Namun melihat kemampuan hakim-hakim agung sekarang, saya jadi ragu.
Ditinjau dari segi kondisi masyarakat yang sekarang dalam keadaan tidak memercayai hukum, putusan MA ini dampaknya bisa membahayakan. Betapa tidak, karena sampai ada seorang penyiar radio swasta di Jakarta yang mengatakan putusan MA ini ”kacau”!
Meski putusan kasasi itu bunyinya tidak perlu memasukkan Prita Mulyasari ke penjara, hakim MA dalam hal ini telah tidak memakai indera keenamnya dalam memutus perkara ini. Hal ini, menurut saya, adalah salah satu kelemahan dari pengangkatan hakim agung yang nonkarier.
Semestinya hakim MA harus lebih peka terhadap aspek yang luas dan tidak terpaku pada bunyi undang-undang semata. ”La bouche de la lois,” kata Montesquieu. Di sinilah profesionalisme hakim MA harus lebih diasah agar dapat memenuhi syarat sebagai hakim yang benar-benar ”agung”.
Seharusnya seorang hakim agung dalam melaksanakan tugas selalu melakukan evaluasi situasional. Dengan demikian, putusan-putusannya tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.