Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Misbakhun Harusnya Peka

Kompas.com - 14/07/2011, 21:32 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Politisi Gerindra, Martin Hutabarat, menyesalkan rekannya sesama mantan anggota DPR, Muhammad Misbakhun, yang kedapatan tengah berjalan-jalan di Ratu Plaza, Rabu (13/7/2011). Padahal, saat ini, Misbakhun menjadi terpidana dan seharusnya masih menjalani masa penahanannya.

"Misbakhun sebagai anggota DPR harusnya dia punya kepekaan bahwa kasusnya itu yang mendapat sorotan masyarakat. Harusnya dia peka terhadap rasa keadilan masyarakat. Dia tidak peka dengan mempertontonkan diri di tempat yang sangat ramai dan seolah-olah tidak ada kepekaan terhadap rasa keadilan masyarakat padahal dia sebagai anggota DPR," ujar Martin di Gedung DPR, Kamis (14/7/2011).

Lebih lanjut anggota Komisi III ini mengatakan, memang Misbakhun telah mendapatkan asimilisasi, tetapi publik butuh sebuah kearifan. Ia memang mendapatkan kesempatan untuk keluar dan bekerja, tetapi seharusnya tidak sampai muncul dan mengundang tanda tanya masyarakat yang melihatnya sebagai pejabat.

Martin juga mempertanyakan alasan Misbakhun yang dinilainya tak masuk akal keluar untuk memperbaiki laptop. Misbakhun terlihat pergi ke sebuah restoran di Mal Ratu Plaza bersama istri dan anaknya.

"Memang dia kan ditahan soal korupsi. Jadi dia dihukum dua tahun, sudah lebih satu tahun dan sudah diberikan asimilasi. Harusnya dia patuhi proses hukum dengan tetap peka terhadap rasa keadilan masyarakat, tidak mempertontonkan diri seperti itu. Kemudian alasan yang dibuat itu adalah alasan yang tidak masuk akal orang sehat," imbuhnya.

Proses asimilasi

Proses asimilasi dapat dilakukan di kasus apa pun. Bukan hanya pada kasus seperti yang dialami terpidana kasus pemalsuan dokumen pendukung L/C fiktif, Muhammad Misbakhun. Menurut pengamat Hukum Tata Negara, Margarito, Kamis, ada beberapa syarat bagi seorang terpidana untuk mendapatkan asimilasi. Untuk kasus Misbakhun, ia sudah mengecap masa tahanan, saat kasusnya masih bergulir di Bareskrim Mabes Polr, sehingga ia tinggal menjalani masa tahanan sisa. Ia divonis dua tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan mendapat asimilasi.

"Semua terpidana kasus bisa saja asimilasi asal dengan syarat orang itu sudah menjalani masa dua pertiga hukuman pidana," ujar Margarito saat dihubungi Kompas.com, Kamis. Selain itu, kata Margarito, seorang terpidana harus berkelakuan baik. Tentunya hanya kepala lembaga pemasyarakatan yang dapat menilai kelakuan baik terpidana.

Oleh karena itu, kepala lapas juga dengan didukung kantor wilayah yang memiliki wewenang untuk memberikan asimilasi terhadap seseorang. "Dia (narapidana) harus berkelakuan baik selama masa pelaksanaan putusannya. Selain itu diusulkan oleh kepala lapas kepada kanwil. Kemudian baru diputuskan dia akan mendapat asimilasi," tuturnya.

Proses asimilasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan Pasal 14j yang sebagian besar berbunyi, "Narapidana mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga". Selain itu juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999. Ketika ditanya kemungkinan narapidana boleh mengajukan asimilasi, menurut Margarito, bisa saja demikian, tetapi ia belum pernah menemukan situasi tersebut.

"Yang saya temui itu tidak pernah ada yang mengajukan asimilasi. Tetapi memang itu adalah haknya terpidana sehingga terpidana yang tahu haknya itu bisa meminta. Kepala lapas dan kanwil tidak juga otomatis memberikan asimilasi itu, harus melihat syarat-syaratnya," kata Margarito.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com