Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peta Baru Tak Tunjukkan Lahan Terdegradasi

Kompas.com - 07/07/2011, 04:01 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan telah menerbitkan peta indikatif moratorium baru dengan skala lebih besar, yakni 1:250.000. Meskipun lebih detail dibandingkan dengan peta sebelumnya yang berskala 1:19 juta, peta baru itu tak menunjukkan areal hutan primer terdegradasi yang dapat dimanfaatkan investor. Keakuratan datanya juga diragukan karena sebagian berbeda dengan kondisi di lapangan.

Greenpeace Indonesia, melalui juru bicara politik kehutanan, Yuyun Indradi, Rabu (6/7) di Jakarta, mengapresiasi langkah Kementerian Kehutanan itu. Namun, pada peta baru yang diluncurkan pada pekan lalu tidak tercantum lokasi hutan primer terdegradasi.

Padahal, pemerintah terus mengundang investor untuk memanfaatkan hutan terdegradasi ini untuk perkebunan/kehutanan.

Pada berbagai kesempatan, pemerintah menyebut luas lahan terdegradasi yang dapat dimanfaatkan mencapai 35,4 juta hektar dari total 42 juta lahan terdegradasi. Apabila ditampilkan, selain menjadi kejelasan bagi investor, hal itu juga bisa menjadi acuan memindahkan lokasi izin hak pengusahaan hutan di hutan primer ke lahan terdegradasi yang membutuhkan pengelolaan lebih baik.

”Kalau sama-sama menebang, kenapa tidak dipindahkan dari hutan primer ke hutan rusak/terdegradasi,” kata Yuyun.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto mengatakan, hutan terdegradasi dari seluruh daerah telah diumumkan dua tahun lalu saat dirinya menjabat direktur jenderal Bina Usaha Kehutanan. Seluruh data dari seluruh Indonesia itu bisa diakses di website Kementerian Kehutanan dengan judul ”Peta Sebaran untuk Investasi HPH, HTI, RE, HTR, HHBK, dan IUPJL tahun 2010-2014”.

”Jadi pada bulan Mei 2010, ketika kami membuat letter of intent (LoI) dengan Norwegia, ini masuk butir kedua tahap transformasi. Jadi kami sudah melakukannya sebelum LoI,” ujarnya.

Usulan diterima

Menurut Hadi, peta indikatif moratorium masih akan terus direvisi. Oleh karena itu, berbagai masukan, termasuk soal peta, agar mencakup lahan terdegradasi itu akan menjadi bahan revisi pada peta mendatang.

Kemarin, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pius Ginting menyatakan, pihaknya menemukan ketidakakuratan dalam peta baru tersebut. Ia menunjukkan foto kondisi Pulau Gei di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, yang dalam kondisi gundul atau rusak karena eksploitasi tambang perusahaan Aneka Tambang. Foto diambil akhir 2010.

Namun, di peta yang sudah direvisi, Pulau Gei berwarna hijau atau berarti termasuk hutan primer. ”Ini baru temuan kecil di satu pulau kecil karena kami baru mengamati daerah itu. Bagaimana dengan daerah-daerah lainnya,” ujarnya. (ICH)

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com