Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jumhur: Tak Ada Eksekusi Pancung 3 Juli

Kompas.com - 01/07/2011, 12:40 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat memastikan tidak ada eksekusi pancung terhadap Sumartini Binti Manaungi Galisung yang diwartakan akan terjadi pada 3 Juli mendatang.

”Tidak ada penetapan eksekusi untuk hukuman pancung Sumartini pada 3 Juli ini di Arab Saudi,” tegas Jumhur, Kamis (30/6/2011), dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi Kompas.com.  Ia mengutip keterangan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh yang diterimanya.

Jumhur mengatakan, Sumartini yang kini mendekam di Penjara Malaaz, Riyadh sempat menelepon KBRI pada 29 Juni lalu dan mengabarkan dalam kondisi baik. Saat itu pula Sumartini memang menyebut tanggal 3 Juli, namun terkait rencana dirinya untuk menjalani ujian hapal Alquran yang jatuh hari Minggu pada tanggal tersebut.

”Jadi, saya tidak tahu dari mana ketidakjelasan informasi pelaksanaan hukuman mati Sumartini itu berasal, yang kini beredar luas di tanah air,” ujar dia.

Menurut Jumhur, pihak KBRI dalam penjelasan tertulis kepadanya, Kamis, juga menyatakan pada 29 Juni sekitar pukul 19.00 waktu setempat, telah mendapatkan informasi dari seorang pejabat penjara Al Malaaz, Mayor Mubarrak Al Dossary, yang menyampaikan kabar hingga pukul 15.00 (berakhirnya jam kerja di Arab Saudi) belum ada perintah eksekusi apapun dalam kasus Sumartini.

Sumartini Binti Manaungi Galisung, TKI asal Desa Pungkat Rt 01/02 Kecamatan Moyo Utara, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, bersama Warnah Binti Warta Niing asal Dusun Krajan Rt 11/03 Desa Bolang, Kecamatan Tirtajaya, Karawang, Jawa Barat, menghadapi kasus perbuatan ”sihir” kepada anak majikannya berusia tiga tahun.

Kasus ini menjadi jelas setelah pada 28 Maret 2010 pengadilan di Riyadh menetapkan keduanya terbukti melakukan "sihir" dengan ganjaran hukuman mati (qishash). Salinan putusan pengadilan yang menjatuhkan qishash diterima KBRI pada 16 April 2010.

KBRI menunjuk pengacara berkebangsaan Arab Saudi, Nasheer Dandani, untuk mendampingi proses hukum Sumartini dan Warnah. Pada 1 Mei 2010 pengacara KBRI melakukan memori banding kepada pengadilan tingkat satu atau Mahkamah Am di Riyadh guna menolak segala tuduhan yang dihadapi Sumartini dan Warnah.

Pada 31 Agustus 2010, KBRI mengirimkan nota diplomatik yang ditujukan pada Raja Abdullah perihal permohonan pengampunan (amnesti) bagi Sumartini dan Warnah. Surat kedua yang ditandatangani Duta Besar RI Gatot Abdullah Mansyur untuk Raja Abdullah pun kembali disampaikan pada 9 Mei 2011 lalu dengan upaya yang sama.

Kabar soal rencana eksekusi pancung 3 Juli terhadap Sumartini disampaikan anggota Komisi III DPR, Eva Sundari.

 

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Khofifah Tolak Tawaran jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

    Khofifah Tolak Tawaran jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

    Nasional
    Soal Duetnya di Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

    Soal Duetnya di Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

    Nasional
    Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

    Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

    Nasional
    Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

    Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

    Nasional
    Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

    Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

    Nasional
    Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

    Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

    Nasional
    Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

    Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

    Nasional
    Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

    Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

    Nasional
    Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

    Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

    Nasional
    Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

    Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

    Nasional
    PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

    PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

    Nasional
    Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

    Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

    Nasional
    Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

    Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

    Nasional
    BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

    BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

    Nasional
    Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

    Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com