Akibatnya, daerah pedesaan menjadi daerah tidak menarik, terutama bagi generasi produktif, dan menyisakan generasi yang tidak produktif di kawasan tersebut. Hal ini juga didorong dengan kebijakan perekonomian yang sifatnya urban bias. Desa dipandang sebagai kawasan yang difungsikan untuk menyangga keberadaan kota. Desa tidak dipandang sebagai sebuah kawasan berpotensi untuk mencukupi dirinya sendiri.
Inilah yang pada akhirnya menyebabkan munculnya paradigma; kalau ingin sukses harus pergi ke kota. Bagaimana jika kota-kota kita sudah terlalu penuh?
Pergi ke luar negeri yang menjanjikan kesempatan kerja lebih besar menjadi pilihan. Inilah yang kemudian melahirkan buruh-buruh migran, termasuk para tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Dua kegagalan inilah yang kiranya harus menjadi bahan pelajaran bagi kita bersama.
Yang kedua, terkait kegagalan dalam hal menerapkan paradigma pembangunan, menjadi hal yang harus pertama-tama dibenahi. Perlu upaya "emansipasi pedesaan" agar pedesaan dapat berdiri sejajar dengan perkotaan terkait kesempatan lapangan kerja dan memperoleh penghidupan yang layak.
Upaya tersebut penting untuk mengurangi arus buruh migran. Pemberian keterampilan kepada calon TKI bukan solusi tepat. Upaya tersebut tidak dapat menjamin seorang buruh migran tidak mendapatkan perlakuan buruk di tempatnya bekerja nanti. Lebih baik menjamin bahwa seseorang dapat memenuhi hidupnya dan hidup dengan layak di tanah kelahirannya, daripada memberi bekal bagi orang untuk hidup di negeri orang.
(Penulis adalah anggota Kompasiana)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.