Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terbang ke Impian dalam Kesederhanaan

Kompas.com - 19/06/2011, 07:16 WIB

MANADO, KOMPAS.com - Keterbatasan alat utama sistem senjata atau alutsista personel TNI-AU dalam menjaga kedaulatan bangsa dan pertahanan udara memang harus diakui menimbulkan keprihatinan segenap anak bangsa.

Bagaimana tidak, negara tetangga maupun AS yang mengetahui keterbatasan ini pernah memanfaatkan peluang dengan diantaranya menerobos wilayah Indonesia tanpa ijin. Ini terbukti dengan adanya beberapa kasus penerobosan wilayah udara Indonesia oleh pesawat asing seperti oleh pesawat AS dalam kasus Ambalat.

Namun, dengan keterbatasan armada yang ada, para penerbang TNI-AU pernah berusaha mengejar serta memperingatkan pesawat tempur AS berteknologi lebih mutakhir yang telah menerobos wilayah Indonesia dalam kasus itu. Mungkin negara asing termasuk tetangga Indonesia di ASEAN memandang sebelah mata kekuatan pertahanan Indonesia karena keterbatasan alutsista.

Namun, di lain sisi, kondisi ini justru membentuk personel pertahanan yang tangguh di Indonesia, seperti yang dialami oleh penerbang TNI-AU berusia 36 tahun, Mayor (Pnb) Setiawan. Mayor Setiawan tetap bangga dan setia melayani pertahanan udara walaupun pesawat Fokker 27 yang dikemudikannya hanya selisih setahun lebih muda dari usianya.

Entah apakah kenyataan ini merupakan ironi, lulusan Akademi Angkatan Udara pada 1998 ini mengaku tetap bangga menerbangkan pesawat angkut yang dibeli Indonesia pada 1976 dengan berbagai beban tugas dan risikonya.

"Memang perusahaan Fokker sendiri sudah tidak ada, tetapi kalau bicara soal pesawat adalah bicara soal perawatan," ujar bapak dari 2 putri ini seakan tidak tidak surut menunjukkan kesetiaannya menjadi salah satu penerbang dari 6 unit Fokker 27 yang ada di Indonesia.

Rasa bangga juga diekspresikannya dalam misi negara berisiko tinggi yang pernah diemban. " Waktu itu pesawat saya terbangkan saat di darat terdengar berbagai dentuman suara bahan peledak," kenang Setiawan dalam pengalaman menjadi co-pilot saat berkobar konflik di Maluku pada 2001-2002.

Setiawan mengaku rasa takut dan gentar harus ditelannya untuk memenuhi kontrak sebagai abdi dari penjaga dan pembela pertahanan udara.

Suasana mencekam juga digambarkannya saat ia harus menguji kelayakan terbang pesawat yang telah menjalani perbaikan besar pada mesin. Test flight berisiko cukup tinggi karena penerbang harus mampu terbang 8.000 kaki di atas permukaan tanah dengan mematikan salah satu mesin pesawat secara bergantian untuk mengetahui kelayakan terbang pesawat.

"Saya memeluk dan mencium istri dan anak- anak lebih erat dari biasanya sebelum berangkat tugas," urai penerbang tamatan SMAN 14 Jakarta pada tahun 1993 ini setiap kali akan menghadapi misi berisiko tinggi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com