JAKARTA, KOMPAS.com - Para pejabat dan mantan pejabat akan berkumpul di Gedung MPR RI, Rabu (1/6/2011), untuk memeringati Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Pada kesempatan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden Megawati Seokarnoputri dan BJ Habibie akan menyampaikan pidato kebangsaan terkait Pancasila. Pengamat politik Yudi Latief berharap, peringatan semacam ini tidak hanya menjadi ritual semata. Para pejabat berkumpul dan kemudian membicarakan Pancasila tanpa kerangka dan implementasi yang jelas dalam praktek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
"Jadi, jangan hanya sekedar ritual dengan peringatan-peringatan. Tapi harus ada roadmap. Semua ideologi kan harus diakarkan. Harus ada roadmap yang jelas dan peran yang jelas dari seluruh pemangku kepentingan," ungkapnya kepada Kompas.com, Rabu pagi.
Kerangka baru ini, lanjutnya, meliputi cara penanaman nilai-nilai Pancasila ke depannya. Menurut Yudi, harus ada titik balik dalam menanamkan dan menghidupi Pancasila. Selama ini, ia menilai Pancasila terlalu banyak diucapkan namun tidak dipelihara dalam hal implementasinya. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap keampuhan Pancasila terus merosot. Yudi menegaskan, perlu ada pendekatan yang berubah dari vertikal ke horizontal. Jika dulu hanya melibatkan negara sebagai inisiator, kini harus melibatkan masyarakat sipil dan unsur-unsurnya sebagai inisiator utama.
"Kalau dulu sifatnya vertikal, yang punya insiatif adalah negara, yang menatar negara. Sekarang harus horizontal, harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan, melibatkan masyarakat sipil, pers, pemuka agama, harus sama-sama komitmen mengembangkan Pancasila. Dengan begitu juga akan melibatkan kreativitas. Dulu kan sosialisasinya hanya ceramah, tapi kalau melibatkan banyak unsur, bisa lewat musik dan film, berbagai cara yang betul-betul bisa ditularkan dalam bahasa yang lebih mudah diterima dan membekas," tambahnya.
Sosialisasi dan penanaman nilai harus dilanjutkan dengan implementasi yang nyata. Yudi mengatakan, selama ini lima sila Pancasila hanya hadir dalam pernyataan para pejabat, tetapi tidak dalam sikap dan caranya merumuskan produk perundangan. "Misalnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa harusnya kan menghadirkan suasana lapang dan toleran, tapi dalam pengamalan pemerintahan di banyak tempat di era reformasi, banyak aparatur negara yang memberi ruang bagi unsur-unsur keagamaan yang memaksakan kehendak, bahkan diakomodasi oleh pemerintah. Itu yang membuat orang tidak percaya, Pancasila jadi pepesan kosong, karena dilihat dari realisasinya, tidak sungguh-sungguh," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.