Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negeri yang Dibajak Radikalisme

Kompas.com - 04/05/2011, 08:13 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Negeri ini telah dibajak oleh radikalisme. Perilaku radikal tumbuh subur di tengah masyarakat dan terus berkembang. Potensi sikap radikal berawal dari intoleransi, yaitu ketidakmauan mengakui keragaman agama, nilai, dan budaya yang notabene adalah fondasi Indonesia sebagai negara bangsa. Intoleransi telah berkembang sedemikian rupa, memunculkan stigma ideologi tertentu dari beberapa kelompok. 

"Semuanya berawal dari pikiran. Salah satunya intoleransi. Aksinya berbeda-beda. Namun, penyaluran radikalisasinya sama, yaitu dengan melakukan siar kebencian kepada orang-orang di sekitar. Kalau kelompok terorisme tergolong kecil, mereka biasanya mengeksklusifkan diri dan bergerak diam-diam melakukan serangan seperti teror bom," ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Nurkholis Hidayat saat ditemui di kantornya, Selasa (3/5/2011).  

Nurkholis mengategorikan kelompok radikal di Indonesia dalam tiga bagian. Kelompok pertama adalah gerakan radikal yang mengaktualisasikan perjuangannya dalam bentuk serangan bom. Ia memasukkan Jemaah Islamiyah dan Jama'ah Ansharut Tauhid dalam kategori ini. Kelompok kedua adalah organisasi-organisasi Islam yang kerap menampilkan sikap keras dalam pernyataan-pernyataan mereka di media dan kerap melakukan tindakan anarki. Kelompok ketiga disebutnya memiliki banyak bagian dan memiliki fokus yang berbeda. Negara Islam Indonesia (NII) dimasukkannya dalam kelompok ini.

"NII beragam, kan, ya. Ini merupakan diaspora dari kelompok NII yang awal dulu dan kemudian menyebar. Ada yang sebagian kecil melakukan aksi-aksi lain untuk menyebarkan negara Islam yang ingin mereka wujudkan, sementara ada juga (gerakan NII) yang melakukan teror dan kekerasan," katanya.

Menurut Nurkholis, dengan caranya masing-masing, kelompok-kelompok ini sebenarnya sedang menyiarkan kebencian kepada kelompok lain. Syiar kebencian dilakukan melalui khotbah dalam forum-forum terbuka, melalui buku bacaan dengan judul dan isi yang provokatif, serta melalui video yang menunjukkan seseorang tengah berpidato dengan terang-terangan mengajak melakukan kekerasan di Youtube. 

Syiar-syiar kebencian bukan hanya dilakukan dalam kegiatan agama. Beberapa di antaranya dilakukan dengan mengirimkan pesan singkat telepon seluler (SMS), majalah, spanduk, hingga media online. Inilah yang menjadi penyebab radikalisme semakin luas tanpa bisa dengan mudah ditangkal. 

"Lama-kelamaan ya dibajak negeri ini. Jadi, bukan hanya hukum yang harus dikelola, tetapi juga mencegah pemikiran seperti ini," kata Nurkholis. 

Instrumen hukum 

Menurut Nurkholis, memang tak ada instrumen hukum yang dapat memidanakan pikiran yang intoleran dan stigma yang salah. "Saya pikir permasalahan yang ada di Indonesia, sering setiap kali ada persoalan, kemudian dijawab dengan regulasi. Padahal, tidak harus seperti itu. Yang saya lihat, stigma dan intoleransi seperti ini berada dalam level sosiologis, bukan legal, karena masih termasuk dalam pikiran. Kalau dasarnya di pikiran, persoalannya bukan hukum yang menyelesaikan. Tetapi, kalau sudah menyangkut diskriminasi dan level tindakan seperti kekerasan, baru ditindak," lanjutnya. 

Ia berpendapat, tak ada alasan bagi aparat penegak hukum untuk menyatakan bahwa instrumen hukum di Indonesia kurang memadai untuk menangkal radikalisme. "Kalau NII merongrong Pancasila dalam pikiran mereka, itu tidak bisa dipidana. Tetapi, jika pikiran itu diaktualisasikan dalam bentuk pernyataan yang menyebarkan permusuhan, kebencian, dan meneror orang atau makar, bisa pakai KUHP. Jika melakukan tindak kekerasan, mereka juga bisa dijerat dengan KUHP. Lebih jauh, kalau dia melakukan aksi terorisme, undang-undang antiteror juga sudah ada," tutur Nurkholis.

Nurkholis melanjutkan, syiar kebencian yang dilakukan orang atau sekelompok orang kepada orang lain untuk menghasut dapat dijerat dengan KUHP Pasal 156 jo 157. Dalam aturan tersebut, pelaku penyebar kebencian dan provokasi yang berujung pada tindakan radikal bisa dijerat hukuman empat tahun penjara. 

"Saya pikir kalau untuk legal, kita sudah cukup punya aturan dan undang-undang. Masalahnya adalah bagaimana bisa menerapkan aturan yang ada secara maksimal. Selama ini polisi dan pemerintah membiarkan saja syiar kebencian ini dilakukan. Kalau sekadar pakai seragam militer kemudian dilarang, itu bukan masalahnya. Paling penting, kan, konteksnya kalau kepolisian bisa punya cukup bukti untuk mengamankan orang yang terduga teroris. Berarti kerja intelijen dan polisi juga harus maksimal," katanya.

"Polisi, kan, seperti pemadam kebakaran. Kalau ada kejadian baru bisa ditindak, meskipun dalam Undang-Undang Kepolisian juga ada tugas polisi untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, yang bisa dilakukan melalui bimbingan masyarakat (bimas). Sebenarnya hal itu juga bisa dimaksimalkan untuk mencegah radikalisme dalam masyarakat. Selain tetap bekerjanya intelijen," tambah Nurkholis.

Institusi lain 

Ia mengakui, upaya pencegahan tindakan radikal tidak hanya menjadi kerja polisi, tetapi juga institusi lain, seperti Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama. "Untuk pendidikan, Mendiknas harus mengontrol buku-buku pelajaran yang dipakai di sekolah, jangan sampai berisi tulisan-tulisan yang bersifat radikal. Guru yang mengajar di sekolah juga harus diawasi," ujarnya. 

Berbagai kementerian masing-masing bidang memiliki tanggung jawab melakukan langkah preventif meskipun, aku Nurkholis, akan memakan waktu panjang dan tidak mudah. Namun, langkah itu harus tetap dicoba untuk mencegah tumbuh kembang radikalisme.

"Banyak orang yang berpikir setiap masalah harus diselesaikan dengan undang-undang. Kalau undang-undangnya sudah ada dan masalah tetap ada, lalu mengatakan bahwa undang-undangnya harus diperketat. Padahal, banyak faktor yang harus diidentifikasi lebih jernih untuk setiap masalah. Ada juga yang berpandangan semakin banyak undang-undang malah semakin tidak adil," tandas Nurkholis.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

    Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

    Nasional
    Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

    Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

    Nasional
    Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

    Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

    Nasional
    Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

    Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

    Nasional
    Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

    Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

    Nasional
    Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

    Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

    Nasional
    Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

    Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

    Nasional
    Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

    Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

    Nasional
    Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

    Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

    Nasional
    9 Kabupaten dan 1 Kota  Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

    9 Kabupaten dan 1 Kota Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

    Nasional
    KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat 'Dirawat Sampai Sembuh'

    KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat "Dirawat Sampai Sembuh"

    Nasional
    BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

    BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

    Nasional
    BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

    BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

    Nasional
    PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

    PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

    Nasional
    KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

    KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com