Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rekrutmen Sel Radikal di Kampus

Kompas.com - 27/04/2011, 03:00 WIB

Azyumardi Azra

Terorisme dan radikalisme masih akan berada di sekitar kita hingga hari-hari nanti, entah sampai kapan.

Radikalisme dan terorisme cenderung kian meruyak: menampilkan jaringan dan sel-sel baru lebih kecil yang tampak bergerak terpisah seolah-olah tanpa komando pemimpin puncak jaringan atau inti sel lebih besar yang sudah terekam dalam berkas Polri. Ini terlihat dari indikasi Muhammad Syarif, pelaku bom bunuh diri saat shalat Jumat di Masjid Adz-Dzikro, Markas Polresta Cirebon, 14 April 2011.

Kecenderungan ini sangat mencemaskan karena sel-sel yang relatif kecil, terpisah, dan independen bisa jadi lebih cepat menyebar dan sulit terdeteksi Densus 88. Sangat boleh jadi gejala baru ini merupakan konsekuensi tak diharapkan ketika jaringan kelompok teror lama telah banyak dilumpuhkan aparat kepolisian.

Gejala baru lain yang mengejutkan adalah keterlibatan sejumlah sarjana, khususnya PF dari Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2001). Menurut Polri, PF merupakan otak rencana aksi pengeboman di Serpong, 21 April 2011, yang digagalkan polisi.

Dalam waktu berbarengan terjadi kehebohan tentang menghilangnya sejumlah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang. Sebagian besar sudah kembali. Mereka telah terekrut dan berbaiat kepada jaringan Negara Islam Indonesia (NII). Yang terjadi di UMM ini hanya puncak gunung es lebih besar. Kasus seperti itu dapat ditemukan dalam skala berbeda di banyak perguruan tinggi.

Beragam penelitian dan pengakuan mereka yang keluar dari sel-sel radikal dan ekstrem mengisyaratkan, mahasiswa perguruan tinggi umum lebih rentan terhadap rekrutmen daripada mahasiswa perguruan tinggi agama Islam. Gejala ini berkaitan dengan kenyataan bahwa cara pandang mahasiswa perguruan tinggi umum, khususnya bidang sains dan teknologi, cenderung hitam-putih. Mahasiswa perguruan tinggi agama Islam yang mendapat keragaman perspektif tentang Islam cenderung lebih terbuka dan bernuansa.

Sasaran rekrutmen

Jelas tak pas mengaitkan teror alumni yang 10 tahun lebih meninggalkan kampus dengan almamaternya atau mengaitkan mahasiswa yang terkesan begitu mudah terekrut ke jaringan NII dengan perguruan tingginya. Dengan kebebasan akademis dan kebebasan sosial di kampus, sangat sulit bagi pemimpin perguruan tinggi mengontrol mahasiswa mereka, apalagi alumni yang telah menyebar.

Maka, kampus sebagai ranah publik dengan mahasiswa dan alumni terkait kealmamateran bisa tak imun terhadap berbagai pengaruh serta infiltrasi paham, wacana, dan gerakan dari luar. Dari masa ke masa di lingkungan kampus hampir selalu ada kelompok radikal dan ekstrem, baik kanan maupun kiri.

Sejak akhir 1970-an sel-sel ekstrem kanan sangat giat merekrut mahasiswa: membentuk kelompok dan sel NII—lazim dikenal sebagai usrah (keluarga)—yang menolak keabsahan pemerintahan Soeharto yang mereka sebut thaghut. Penolakan ini ditandai dengan bakar KTP dan menikah lewat wali amir mereka tanpa melalui kantor urusan agama.

Zaman kebebasan dan demokrasi pasca-Soeharto membuka ruang amat lapang bagi beragam kelompok berideologi ekstrem kiri dan kanan kembali ke kampus. Kelompok kiri tak mampu bertahan lama sehingga memberi ruang sangat besar bagi kelompok dan ekstrem radikal Islam sejak NII sampai sel-sel radikal lain. Kelompok dan sel dengan pemahaman keagamaan yang beda jauh dengan arus utama Islam segera terlibat pelanggaran hukum: penculikan, pencurian, perampokan, terorisme, dan upaya makar terhadap NKRI.

Menghadapi radikalisasi

Ideologi radikal dan teroristik tak bisa dihadapi hanya dengan wacana, bahkan tindakan represif aparat hukum sekalipun. Ia harus dihadapi dengan kontraideologi dan perspektif keagamaan keindonesiaan yang utuh. Tak perlu redesain kurikulum menyeluruh karena hal itu mengganggu stabilitas akademis-keilmuan. Yang mendesak dilakukan adalah revitalisasi mata kuliah yang bersifat ”ideologis”: Pancasila, Pendidikan Kewargaan, dan Agama.

Pancasila yang marjinal sebagai dasar negara sejak masa reformasi juga terjadi di perguruan tinggi. Mata kuliah Pancasila di beberapa perguruan tinggi diganti dengan Filsafat Pancasila atau dihapus sama sekali. Filsafat Pancasila lebih sebagai wacana akademis daripada ideologis. Padahal, hanya dengan memahami Pancasila tumbuh semangat kebangsaan-keindonesiaan dan kewargaan bertanggung jawab.

Kewarganegaraan atau Pendidikan Kewargaan merupakan pengganti Kewiraan yang dihapus setelah Soeharto yang militeristik jatuh. Silabus dalam Pendidikan Kewargaan mengandung penguatan paham kebangsaan-keindonesiaan dalam berbagai aspeknya.

Agama semestinya tak hanya mengulangi ajaran teologis-normatif agama, tetapi juga penguatan perspektif keagamaan-kebangsaan dan diorientasikan untuk penguatan sikap intelektual tentang keragaman agama sekaligus toleransi intraagama dan antaragama serta antara umat beragama dan negara.

Pembelajaran ketiga mata kuliah itu jelas tak bisa dilakukan secara indoktrinatif ala penataran P4. Perlu terobosan baru yang dialogis, partisipatif, analitis, dan kritis yang memungkinkan internalisasi ke dalam diri para mahasiswa.

Yang tak kurang penting: revitalisasi lembaga, badan, dan organisasi kemahasiswaan intrakampus dan ekstrakampus. Dalam beberapa tahun ini organisasi intrakampus, seperti BEM, lebih terlibat dalam aktivisme politik: demonstrasi dan protes lain terkait isu politik dan pemerintahan. Dua tahun terakhir aktivisme mahasiswa sangat menurun. Banyak kalangan menduga disorientasi kemahasiswaan disebabkan faktor sosial, budaya, politik, ekonomi, bahkan keagamaan.

Hal yang sama terjadi pada organisasi mahasiswa ekstrakampus. HMI, PMII, IMM, KAMMI, GMNI, PMKRI, dan GMKI tak lagi aktif dalam kaderisasi anggotanya. Ada kecenderungan kuat, keanggotaan sebagian besar organisasi merosot secara signifikan. Padahal, beberapa penelitian PPIM dan CSRC di UIN Jakarta menunjukkan, keanggotaan dan aktivisme organisasi merupakan faktor penting untuk mencegah terjerumusnya seseorang ke dalam gerakan radikal dan ekstrem.

Sebaliknya, terdapat gejala kuat para mahasiswa nonaktivis dan kutu buku sangat mudah terkesima sehingga segera dapat mengalami cuci otak dan indoktrinasi pemikiran gerakan radikal dan ekstrem. Mereka cenderung naif dan polos karena tak terbiasa berpikir analitis dan kritis, seperti lazim dalam dunia kaum mahasiswa aktivis.

Rekrutmen ideologis kelompok radikal, ekstrem, dan teroristik hampir bisa dipastikan terus berlanjut. Sudah saatnya langkah itu jadi prioritas pihak terkait.

Azyumardi Azra Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com