JAKARTA, KOMPAS.com — Selama ini aksi terorisme kerap dikaitkan dengan "cuci otak" sebagai bagian dari pola rekrutmen para teroris. Namun, menurut peneliti senior International Crisis Group Working to Prevent Conflict Worldwide, Sidney Jones, pola itu tak sepenuhnya benar jika ditilik dari latar belakang para pelaku terorisme atau aksi bom bunuh diri yang sudah tertangkap.
"Cuci otak kurang pas kalau dikaitkan dengan terorisme karena orang yang bergabung dengan kelompok-kelompok teror adalah orang yang sangat rasional," ungkapnya dalam diskusi di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (20/4/2011).
Selain itu, Sidney juga memastikan bahwa tak ada kaitannya terorisme dengan tingkat kemiskinan di Indonesia. Pada faktanya, latar belakang para pelaku menunjukkan mereka adalah orang-orang terpelajar dengan tingkat ekonomi menengah.
"Saya tak yakin karena beberapa faktanya banyak teroris yang sudah tertangkap, perakit bom adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi, ada dari UGM, ITB, dan sebagainya. Ada yang ahli teknis, ada yang ahli kedokteran hewan. Bom bunuh diri bukan karena frustrasi. Dalam wasiat atau apa yang disampaikan kepada orangtuanya bukan karena frustasi, tetapi karena sebaliknya," ujarnya.
Menurut Sidney, para pelaku justru melihat aksi bom bunuh diri sebagai tindakan yang idealis karena bersedia mengorbankan diri untuk menolong orang-orang yang tertindas di dunia atau rekan seagamanya.
"Saya tidak melihat ada hubungannya ekonomi yang menurun di Indonesia dengan radikalisme. Lihat sebelum reformasi, ada bom natal, dan sebagainya," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.