Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Butuh Waktu Membongkar Jaringan

Kompas.com - 18/04/2011, 05:25 WIB

Bom bunuh diri di Masjid Adz-Dzikro di lingkungan Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Jawa Barat, sungguh mengejutkan. Tanpa pikir panjang, pelaku meledakkan bom di tengah jemaah yang akan mulai shalat Jumat. Sebagian besar aparat kepolisian yang akan menjalankan ibadah pun menjadi sasaran dan korban luka-luka.

Aksi bom bunuh diri itu diduga sangat terkait dengan aksi terorisme. Aksi terorisme selama ini memang bagaikan ”bom waktu”. Siapa saja dapat menjadi sasaran, tanpa batasan waktu dan tempat. Namun, dalam aksi bom bunuh diri di Polresta Cirebon, yang menjadi sasaran atau target terlihat lebih jelas.

Menurut pengamat intelijen, Wawan Purwanto, dalam aksi itu terlihat unsur balas dendam. Mengapa? Karena, yang menjadi sasaran atau target lebih jelas, yaitu aparat kepolisian di lingkungan markas polresta.

Aparat kepolisian—yang selama ini bersusah payah menindak aksi-aksi terorisme—menurut Wawan, dinilai oleh kelompok radikal atau teroris sebagai pihak yang dapat menghalangi atau menghambat aksi-aksi mereka.

Aparat kepolisian yang menjadi target sebenarnya sudah dapat terbaca dengan adanya aksi-aksi sebelumnya, misalnya saat perampokan Bank CIMB Niaga, Medan. Aparat Brimob yang dianggap dapat menghalangi aksi fa’i (perampasan harta benda milik orang yang diyakini sah dilakukan dalam kondisi perang) pun menjadi sasaran. Lalu, terjadilah penyerangan kantor Kepolisian Sektor Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara.

Aksi terorisme dengan cara bom bunuh diri tidak terlepas dari ideologi atau ajaran terorisme yang diindoktrinasikan. Akibatnya, muncul kelompok atau kader-kader muda yang memiliki tingkat militansi dan mampu menjadi eksekutor, yaitu pelaku bom bunuh diri.

Wawan menilai, aksi bom bunuh diri di masjid di lingkungan Mapolresta Cirebon tidak terlepas dari kondisi sebelumnya. ”Memang kasus itu perlu penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut. Namun, kasus itu tentu ada kaitannya dengan kondisi sebelumnya,” katanya.

Menurut Wawan, aksi bom bunuh diri itu diduga terkait dengan kelompok-kelompok radikal yang pernah direkrut tersangka kasus terorisme, Nurdin M Top yang tewas ditembak aparat. Namun, ajaran-ajaran Nurdin M Top mengalir kepada kader-kader muda yang sempat direkrut.

Dengan ideologi atau ajaran yang ditanamkan, upaya memberantas terorisme menjadi tidak mudah. Pengamat di bidang pertahanan dan keamanan, Andi Widjajanto, dalam sebuah diskusi pekan lalu, mengatakan, pusat kekuatan terorisme terletak pada ideologi, selain jejaring dan kepemimpinan. ”Kalau pusat kekuatan terorisme terletak pada ideologi, deradikalisasi semakin sulit,” kata Andi. Alasannya, ideologi terorisme selalu ditanamkan dari generasi ke generasi di kalangan kelompok radikal.

Meskipun sulit, tidak berarti upaya mencegah ideologi terorisme berkembang menjadi buntu. Salah satu upaya yang dapat menghambat ideologi dan aksi terorisme berkembang adalah membuat produk undang-undang terorisme yang lebih kuat.

Ketentuan lebih kuat

Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai, dalam revisi UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu ada ketentuan lebih kuat untuk mencegah terorisme berkembang.

Ansyaad menambahkan, perlu ada ketentuan yang mengatur bahwa tindakan-tindakan awal yang mengarah pada aksi terorisme, seperti menyebarkan kebencian atau permusuhan yang dapat mengancam keamanan negara, dinyatakan sebagai kejahatan.

Alasannya, setiap aksi terorisme pasti didahului perekrutan dan indoktrinasi ideologi terorisme (baiat). Setelah itu, aksi dilanjutkan dengan berbagai pelatihan dan bentuk aksi teror.

Jika ketentuan itu diberlakukan, menurut Ansyaad, aparat penegak hukum lebih mampu menindak kelompok radikal yang melakukan perekrutan dan penyebaran ajaran-ajaran terorisme. Dalam UU No 15/2003 saat ini, ketentuan seperti itu belum diatur sehingga menyulitkan aparat penegak hukum proaktif menindak sejak dini.

Sebagai gambaran, Internal Security Act (ISA) 1960 di Malaysia cukup efektif untuk mencegah paham dan aksi-aksi yang dapat mengancam keamanan publik dan negara. Sesuai Pasal 8 ISA, aparat keamanan Malaysia dapat menangkap orang yang dinilai bisa mengancam kepentingan nasional, keamanan negara, dan ketertiban umum.

Selain itu, lanjut Ansyaad, dalam revisi UU No 15/2003, BNPT juga mengusulkan agar laporan intelijen, seperti data dan informasi intelijen, dapat digunakan sebagai alat bukti. Dalam Pasal 26 UU No 15/2003 saat ini, laporan intelijen hanya menjadi bukti permulaan yang cukup, bukan alat bukti. Jika laporan intelijen, seperti data dan informasi, dapat menjadi alat bukti, aparat kepolisian pun dapat lebih mudah menangkap dan membuktikan dugaan tindak pidana dari tersangka kasus terorisme.

Kekuatan lain yang perlu ditambahkan dalam revisi UU No 15/2003 adalah masa penangkapan. Masa penangkapan selama satu minggu dalam UU No 15/2003 dinilai kurang lama bagi penyidik untuk mendalami pemeriksaan. ”Bertolak dari pengalaman selama 10 tahun ini, masa penangkapan tujuh hari itu terlalu singkat,” tutur Ansyaad.

Ansyaad menjelaskan, aksi terorisme terkait dengan jaringan. Oleh karena itu, polisi membutuhkan waktu yang cukup untuk cek silang di berbagai tempat atau bahkan di suatu negara. ”Apalagi, kondisi geografis di Indonesia ada kendala transportasi,” kata Ansyaad. Kalau masa penangkapan terlalu singkat, tersangka dapat dilepas karena pembuktian kurang kuat.

(FERRY SANTOSO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com