Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Quo Vadis" RUU Tipikor?

Kompas.com - 07/04/2011, 04:36 WIB

Ketiadaan kerugian keuangan negara sebagai elemen kejahatan korupsi janganlah dipandang sebagai suatu langkah mundur. Justru sebaliknya, tidak perlu adanya kerugian negara, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 3 Ayat (2) KPBBMK, memperluas jeratan kejahatan korupsi, tak hanya di sektor publik, tetapi juga di sektor swasta.

Selain itu, jaksa penuntut umum tidak perlu membuktikan adanya kerugian keuangan negara. Ada atau tidak ada kerugian keuangan negara, apabila sudah memenuhi unsur delik, pelaku sudah dapat dijatuhi pidana karena melakukan kejahatan korupsi.

Kriminalisasi pelapor merupakan kontroversi dalam RUU Pemberantasan Tipikor. Ini jelas bertentangan dengan KPBBMK. Dalam Pasal 32 sampai Pasal 35 konvensi itu terdapat kewajiban melindungi pelapor, saksi, dan ahli dalam proses peradilan terkait tindak pidana korupsi.

KPBBMK juga menjamin adanya partisipasi masyarakat untuk menyampaikan laporan mengenai dugaan adanya korupsi dan membuka akses masyarakat terhadap lembaga-lembaga antikorupsi. Lembaga-lembaga ini pun memfasilitasi laporan masyarakat tersebut [vide Pasal 13 Ayat (1) dan (2) berkenaan dengan Pasal 39].

Kedua, perihal sanksi pidana. Sifat dan karakter korupsi sebagai kejahatan luar biasa tidaklah ditentukan oleh ada-tidaknya pidana mati, melainkan oleh stelsel pemidanaan yang dianut. Secara teoretis ada beberapa stelsel pemidanaan dalam perumusan suatu undang-undang.

Stelsel pemidanaan yang pantas untuk memperlihatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa adalah ”hukuman yang tak menentukan”. Artinya, pembentuk undang-undang mencantumkan ancaman minimum dan maksimum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku.

”Hukuman yang tak menentukan” ini memperlihatkan tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan. Hanya, minimummaksimum pidana penjara dan pidana denda yang dapat dijatuhkan disesuaikan dengan kualifikasi perbuatan pelanggaran.

Agar tak terjadi disparitas pidana, ada interval yang rasional berhubungan dengan hal ancaman pidana minimum-maksimum antara satu perbuatan dan perbuatan lain. Sebagai misal, pelanggaran paling ringan diancam pidana penjara minimum 1 tahun dan maksimum 6 tahun serta denda minimum Rp 25 juta dan maksimum Rp 100 juta.

Pelanggaran ringan diancam pidana penjara minimum 2 tahun dan maksimum 10 tahun serta denda minimum Rp 50 juta dan maksimum Rp 200 juta. Pelanggaran sedang diancam pidana penjara minimum 3 tahun dan maksimum 15 tahun serta denda minimum Rp 100 juta dan maksimum Rp 400 juta.

Pelanggaran berat diancam pidana penjara minimum 4 tahun dan maksimum 20 tahun serta denda minimum Rp 200 juta dan maksimum Rp 800 juta. Pelanggaran paling berat diancam pidana penjara minimum 5 tahun dan maksimum seumur hidup serta denda minimum Rp 400 juta dan maksimum Rp 1 miliar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com