Mengenai ancaman pidana mati, perlu penjelasan. Jika pidana mati dicantumkan dalam UU Tipikor, dikhawatirkan hal itu dapat menghambat kerja sama internasional dalam pemberantasan korupsi, khususnya berkaitan dengan ekstradisi.
Dari sembilan prinsip dalam ekstradisi, hukuman mati adalah salah satu faktor penghambat ekstradisi. Artinya, jika negara pemohon yang masih mencantumkan ancaman pidana mati terhadap koruptor mengajukan ekstradisi dari negara yang dimohon—dan negara yang dimohon sudah menghapus pidana mati—pengajuan ekstradisi dapat ditolak. Selain itu, ancaman pidana mati dianggap melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai dalam mendapat perlindungan atau pembelaan diri sebagai hak.
Ketiga, terkait dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Mengingat korupsi sebagai kejahatan luar biasa, penanggulangannya harus dengan cara-cara luar biasa pula. Kewenangan yang dimiliki KPK saat ini sudah cukup memadai untuk memberantas korupsi. Itu sebabnya, setiap upaya mengurangi kewenangan KPK harus dibaca sebagai usaha pelemahan pemberantasan korupsi.
Bersandar pada tujuan KPBBMK yang salah satunya adalah pemberantasan korupsi yang sangkil dan mangkus, dalam konteks Indonesia, lembaga yang sangkil dan mangkus untuk memberantas korupsi hanyalah KPK. Ini pun sejalan dengan amanat Pasal 5 KPBBMK yang menghendaki adanya pelaksanaan yang mangkus dari lembaga antikorupsi. Tegasnya, kewenangan penyidikian dan penuntutan harus tetap dimiliki oleh KPK.