JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi membeberkan sejumlah temuannya terkait pengelolaan dana bantuan sosial (bansos) di pemerintah daerah yang berpotensi tindak pidana korupsi. Sepuluh temuan KPK tersebut merupakan hasil kajian KPK terhadap kebijakan pemerintah daerah pada Januari-Maret 2011.
"Temuan dibagi dalam dua aspek, regulasi dan tatalaksana. Temuan di bidang regulasi ada tiga temuan, di tatalaksana tujuh temuan," ujar Wakil Ketua KPK bidang Pencegahan, M Jassin, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (5/4/2011).
Ia memaparkan, KPK menemukan, dalam aspek regulasi tidak ada Peraturan Menteri Dalam Negeri yang secara khusus mengatur pengelolaan bantuan sosial. Tidak terdapat pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun pengelolaan belanja bansos.
"Akibatnya pengelolaan dana bansos di daerah tidak seragam. Contohnya, di Jabar (Jawa Barat) dituangkan dalam Keputusan Gubernur, di Bogor Keputusan Bupati," kata Jassin.
Akibatnya, ia melanjutkan, terdapat perbedaan satu daerah dengan daerah lainnya dalam menentukan sasaran penerima bansos dan kriteria penerima bansos. "Kriteria penerima bansos ada yang disebutkan ada yang tidak. Persyaratan administrasi permohonan Bansos, di Bogor disebutkan, di Jabar tidak. Sampai mekanisme penanggung jawaban ada yang disebutkan, ada yang tidak, pengawaan dan monitoring ada yang tidak disebutkan," papar Jassin.
Regulasi
Selain itu, dalam aspek regulasi, KPK menemukan adanya ketidaksinkronan antara kebijakan Menteri Dalam Negeri dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri terkait bansos.
"Sarannya, Kemendagri harus merevisi surat edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/277 dengan memperhatikan Permendagri Nomor 13 tahun 1996," lanjut Jassin.
Temuan dalam aspek regulasi lainnya, KPK menemukan tidak adanya ketentuan yang mengatur tentang keadilan dalam pengelolaan dana bansos. "Oleh karena itu kita meminta Mendagri membuat peraturan yang mencantumkan pemenuhan kebutuhan wajib terlebih dahulu sebelum mengalokasikan bansos," ucap Jassin.
Tatalaksana
Sementara dalam aspek tatalaksana, KPK menemukan tidak adanya kebijakan yang jelas dalam menetapkan pagu anggaran bansos. Pemberian bansos tidak berdasarkan pada kriteria jelas yang mempertimbangkan keadilan.
"Tidak semua Pemda memliki kriteria penerima bansos. Contoh provinsi Jawa Barat, bansos ada yang untuk membiayai wartawan senior Rp 100 juta, Prabu Siliwangi, atau untuk pembubaran Banwaslu," ujar Jassin.
Selain itu, dalam tatalaksana penganggaran, tidak semua objek bansos dilengkapi rincian objek penerimanya. Masih ditemukan laporan yang hanya menyebutkan objek belanja tanpa merincinya.
"Misalnya di Jawa Barat, untuk kegiatan usaha perikanan dan kelautan Rp 6 miliar, dan ada untuk partai A Rp 31 miliar, ada listing untuk Pak N, Rp 616 juta," papar Jassin.
Temuan lainnya, dalam tatalaksana tidak ada standar dalam pembuatan laporan pertanggung jawaban atas pengelolaan bansos. Akibatnya, penyaluran dana, kata Jassin seringkali melebihi batas yang ditetapkan.
"Misalnya, dari LSM bikin ke percetakan ucapan terimakasih pada walikota Bogor, begitu saja sudah cukup disebut pertanggung jawaban," kata Jassin disusul tawa sejumlah pengunjung.
Verifikasi
Kemudian yang terakhir, tidak terdapat unit kerja daerah yang memverifikasi penggunaan dana bansos. "Mendagri harus menyusun pedoman pertanggung jawaban ini," imbuh Jassin.
Belanja bansos adalah bagian dari keuangan daerah yang harus dikelola secara tertib, taat perundangan, dan efektif, ekonomis, transparan, dan bertanggungjawab dengan memerhatikan asas keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat.
Penyaluran bansos harus selektif dengan menetapkan kriteria ketat, proses yang transparan, dan pertanggungjawaban yang akuntabel. Terkait hal tersebut, KPK melakukan kajian dalam pengelolaan bansos sebagai salah satu upaya pencegahan korupsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.