Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inilah Impian Tantowi Yahya Pimpin DKI

Kompas.com - 21/03/2011, 10:51 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Nama Tantowi Yahya (50) seakan tak asing lagi di telinga warga Jakarta. Siapa yang tak kenal si penyanyi country yang biasa terlihat dengan topi lebarnya sambil memegang gitar dan bersenandung merdu musik country? Kini, sang penyayi country yang juga sempat menjadi pembaca acara “Who Wants To Be A Millionare” tersebut sudah menanggalkan dunia keartisannya dan memulai karier sebagai politisi Komisi I DPR dari Partai Golkar.

Pada tahun 2012 mendatang, saat Pilkada DKI Jakarta dihelat, Tantowi yang sempat menjadi resepsionis Hotel Borobudur ini akan kembali mencari peruntungannya dengan masuk dalam bursa bakal calon gubernur DKI tahun 2012-2017. Nah, untuk mengorek lebih dalam apa saja visi dan misi yang akan diusung Tantowi dengan maju sebagai bakal calon Gubernur DKI, pada Kamis (17/3/2011) wartawan Kompas.com Sabrina Asril dan Hertanto Soebijoto berkesempatan melakukan wawancara panjang membedah visi dan misi serta cita-citanya jika kelak terpilih menjadi orang nomor satu di Ibu Kota. Berikut ini petikan selengkapnya wawancara yang dilakukan di Sha’Bu Bistro, Plaza Senayan:

Bisa diceritakan tentang pencalonan Anda sebagai bakal calon Gubernur DKI?

Niat saya untuk maju didasari keresahan yang sama sebagai warga Jakarta yang hampir 30 tahun lamanya selalu saja dihadapai masalah-masalah yang sama bertahun-tahun. Mulai dari kemacetan, transportasi, minimnya ruang terbuka publik, dan banjir. Hingga kini ketiga masalah itu belum didapatkan solusi yang manjur.

Berdasarkan kegelisahan tersebut, saya beranikan diri untuk maju sebagai bakal calon gubernur untuk Pilkada DKI yang insya Allah dilaksanakan pada Agustus tahun depan. Jadi, pencalonan ini murni atas inisiatif saya sendiri karena pada prinsipnya di Golkar setiap kader mempunyai hak untuk ikut dalam pemilukada.

Bagaiamana mekanisme pencalonan di internal Golkar sendiri?

Kalau di Golkar, segala infrastruktur partai termasuk yang paling rapi. Jadi, untuk yang mau maju ke Pemilukada, harus melapor dulu ke Ketua Pemenangan Pemilu dan Pemilukada, Pak Cicip Sutarjo. Dan begitu saya melapor, ternyata tanggapanya baik. Selain saya, memang ada dua calon lagi dari Golkar, yaitu Azis Syamsuddin dan Prya Ramadhani. Semua kader punya hak yang sama untuk mengajukan diri. Tapi sebagaimana keputusan dalam Munas di Riau, DPP akan mencari kader terbaik yang memiliki popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas yang paling tinggi.

Terhadap calon nonkader pun partai sebenarnya terbuka untuk direkrut partai. Nanti, enam bulan sebelum pilkada, partai akan mengumumkan calonnya. Selain itu, partai juga pakai dua lembaga survei yang beda untuk survei dan akurasi. Tapi, karena wacana yang berkembang, Juli tahun ini akan dilakukan survei supaya lebih cepat lebih baik sehingga semua kader akan terkonsentrasi untuk pemenangan satu calon itu.

Langkah apa yang sudah Anda lakukan untuk pemenangan Pilgub?

Kami belum kampanye terbuka karena masyarakat nanti bisa bingung karena belum ada calon resmi dari partai. Yang bisa kami lakukan sekarang adalah serangan udara, pencitraan, supaya masyarakat tahu bahwa saya mencalonkan diri sebagai calon gubernur dari Golkar. Hanya sebatas itu. 

Strategi apa yang akan anda lakukan untuk menarik simpati publik?

Kami memang sudah memetakan dukungan kami kuat di mana saja, tapi saya masih belum bisa membongkarnya karena ini termasuk salah satu strategi tim. Nanti keburu ketahuan lawan, kan? Hahahahaaa...

Tapi yang jelas, saya memang menyadari di Jakarta ini tingkat apatismenya sangat tinggi, golput-nya tinggi. Tidak bisa disalahkan juga. Maka, untuk kalangan yang golput ini akan coba saya rangkul, karena jumlahnya sangat signifikan dan potensial. Saya akan coba mencari tahu alasan mereka, kenapa mereka golput dan pemimpin seperti apa yang mereka inginkan. Pemimpin yang menjadi harapan mereka itu sebenarnya bagaimana, itu kami harus tahu.

Program yang akan diunggulkan?

Saya tahu harapan penduduk dan masyarakat Jakarta sebenarnya sama, inginnya agar Jakarta aman dan nyaman. Aman merujuk pada kemanan, dan nyaman merujuk pada tidak macet, tidak banjir, kualitas hidup bagus, polusi bisa diredam, dan menciptakan silaturahmi. Jakarta ini sudah jadi kota berbudaya tapi masyarakatnya sudah semakin individualis. Antarorang tidak mau tahu apa yang terjadi dengan orang di sampingnya. Saya mau mengubah ini.

Selain itu, setiap kandidat pasti mengusung program yang sama, yakni mengutamakan soal banjir dan kemacetan. Sebagaimana yang pernah saya ucapkan, ada tiga soal yang jadi fokus saya kalau menjadi gubernur, yakni masalah transportasi publik, ruang terbuka publik, dan infrastrukrur.

Masalah transportasi publik, Pak Sutiyoso sebenarnya sudah bagus membangun busway. Karena selain paling murah (dibanding MRT dan monorel), juga bisa cepat dilaksanakan. Karena tidak perlu membangun jalan baru, melainkan memanfaatkan jalan yang sudah ada. Tapi sayangnya, entah mengapa, ini tidak dilanjutkan di era gubernur selanjutnya. Saya pernah duduk mendengarkan paparan dari Pak Sutiyoso, saya rasa program busway itu bagus, saya pikir visi beliau dalam menangani masalah transportasi publik bagus. Mestinya ini dilanjutkan...

Selain itu, predikat Jakarta sebagai kota dengan mal terbanyak di dunia sebenarnya tidak bisa juga kita banggakan. Kenapa? Yang pertama, banyak pedagang pasar tradisional yang akhirnya merugi. Kedua, menumbuhkan sifat konsumerisme sejak dini. Bayangkan, di Jakarta karena tidak memiliki ruang terbuka yang banyak, setiap weekend pasti perginya ke mal bawa anak-anak juga. Dengan begini sama saja mengajarkan konsumerisme dari kecil.

Ketiga, pertumbuhan mal ini justru mengurangi lahan publik. Singapura dan Indonesia sebenarnya problemnya sama, macetnya juga sama, tapi transportasi publik mereka baik dan ruang terbukanya juga banyak. Jadi, warganya bisa beraktivitas di situ, enggak terkungkung di dalam rumah. Warga Singapura tidak perlu bermacet-macetan karena sarana transportasinya modern, terintegrasi, dan tepat waktu. Kemudian mereka tinggal di rumah-rumah susun, apartemen yang umumnya memiliki ruang terbuka hijau yang aman dan nyaman, sehingga sepulang kerja mereka masih bisa beraktivitas di ruang publik itu. 

Jika terpilih menjadi Gubernur DKI, Anda memimpikan Jakarta sebagai kota yang bagaimana selama lima tahun mendatang?

Mau tahu mimpi saya? Saya ingin orang Jakarta bangga untuk bilang "Saya bangga jadi orang Jakarta", “Gue Orang Jakarta!”. Semangatyang sama yang ada pada warga New York. Kalau kita lihat di New York, mereka sangat bangga akan kotanya dengan jargon “I Love New York”, dan sebutan “I Am A New Yorker”.

Sebutan-sebutan ini yang ada di benak warganya. Padahal, siapa sih penduduk New York? Penduduk aslinya kan Indian, dan itu bukan mayoritas lagi. Di sana ada etnis India, China, Jepang, Arab, Afrika, Mexican, Latin, dan lain-lain. Sama seperti Jakarta kondisinya. Kota ini juga dihuni dari berbagai etnis dan suku. Dengan kebanggan itu, secara tidak sadar, semua orang kan menjaga dan mencintai New York.

Nah, bagaimana dengan Jakarta? Kalau yang ini, Jakarta hanya menjadi tempat singgah untuk bekerja mencari uang, mencari nafkah. Begitu selesai, pas lebaran kita tinggalkan. Kota ini jadi kosong. Lalu, siapa warga DKI ini sebenarnya?

Saya bukan mau menyalahkan tradisi mudik, karena itu merupakan bagian dari kultur kita. Contohnya orang Jogja, walaupun dia orang Sumatera kuliah di Jogja, dia akan menganggap dirinya orang Jogja. Kultur dan gayanya berubah jadi kejawa-jawaan. Semua orang pasti cinta Jogja dan menganggapnya sebagai rumah, karena orang-orang di sana sangat ramah dan membuat kita selalu ingin kembali. Saya waktu sekolah di sana, setahun sekali saya pulang ke Palembang. Kenapa? Karena saya betah di Jogja. Ini yang akan jadi PR besar saya untuk membuat warga Jakarta cinta akan Jakarta dan membuat Jakarta sebagai rumahnya. PR besarnya untuk meningkatkan silaturahmi antarwarga.

Salah satu cara untuk meningkatkan silaturahmi warga Jakarta adalah dengan membangun pasar tradisional. Di sana, orang berinteraksi langsung. Ada proses tawar menawar, ada saling tegur sapa. Di mal atau supermarket hal itu tidak didapatkan, karena orang tinggal ambil barang kalau mau membeli. Saya memimpikan pasar tradisional di Jakarta itu nantinya menjadi salah satu obyek wisata bagi turis lokal maupun turis asing, seperti Pasar Beringharjo di Jogja atau Pasar Klewer di Solo. Tentunya pasar tradisional yang saya impikan itu nantinya bersih, tidak bau, dan tidak becek.

Disebutkan tadi, Anda ingin membuat warga Jakarta cinta akan kotanya, Anda sendiri berasal dari Palembang dan pernah tinggal juga di Jogja, apakah saat ini sudah mencintai Jakarta seperti yang disebutkan tadi?

Saya bangga akan kota ini. Mau tahu kenapa saya bangga dengan Jakarta? Jakarta itu adalah land opportunity. Semua orang berbondong-bondong ke kota ini untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Yang lainnya?

Yang lainnya? Saya cinta akan dinamika Jakarta! Di kota manapun di Indonesia tidak ada yang mengalahkan dinamikanya Jakarta. Surabaya yang katanya kota kedua terbesar di Indonesia pun, masih kalah hectic-nya dengan Jakarta. Coba saja warga Jakarta pergi ke kota lain, pasti tidak akan betah berlama-lama. Saya sendiri merasakan, jika sedang di luar kota kok saya rasanya geregetan kalau enggak ngapa-ngapain kan? Rasanya ingin kembali ke Jakarta lagi. Walaupun Jakarta itu macet, banjir, tapi semua orang pasti akan kembali lagi ke kota ini. 

Apa saja langkah yang akan Anda lakukan untuk membuat orang Jakarta bangga dengan kotanya?

Pertama, silaturahmi melalui ruang publik. Kedua, pelibatan masyarakat dalam setiap pembangunan Jakarta. Harus partisipatif. Masyarakat harus jadi stakeholder, karena mereka yang menjadi obyek kebijakan langsung. Dari awal rakyat dirangkul, jangan hanya dirangkul saat pilkada saja. Kalau saya diberikan kesempatan jadi Gubernur Jakarta, Jakarta harus jadi milik mereka, dan saya dalam tiap kesempatan kalau jadi gubernur akan menggunakan kata-kata 'KITA', bukan 'SAYA'.

Persoalan Jakarta tiap tahunnya, tidak jauh-jauh dari masalah banjir. Bagaimana strategi untuk mengatasi banjir di Jakarta ini?

Kalau soal banjir ini sebenarnya bukan salah Foke, karena dari dulu Jakarta masih bernama Batavia Jakarta memang sudah banjir, bahkan pas tahun 1860 ada banjir besar yang menimpa Jakarta, karena topografi tanah Jakarta ini memang seperti kuali. Jadi, kalaupun ada 13 anak sungai, air tidak akan mengalir (dengan cepat) karena tanahnya flat. Beda dengan Bandung dan Bogor yang tanahnya landai. Dengan kondisi alam seperti ini, bukan berarti kita menyerah begitu saja. Kalau manusia kan diberikan akal, pemerintah diberikan uang.

Kota Amsterdam, yang secara topografi tanahnya berada di bawah permukaan laut, bisa diatasi dengan akal. Itu artinya Jakarta sebenarnya juga bisa. Tapi memang untuk mengatasi banjir di Jakarta ini tidak hanya tugas Pemerintah Provinsi DKI saja. Pemerintah pusat juga perlu dilibatkan, selain juga keterlibatan daerah-daerah penyangga Ibu Kota seperti Bogor, Tangerang, Bekasi. Mau bicara banjir, ya tidak akan bisa lepas dari Bogor karena memang air dari Bogor itu kan mengalirnya kemari. Saya sendiri berpendapat, jika nanti saya menjadi Gubernur DKI, saya akan rangkul Bogor untuk membangun waduk di sana, dan itu artinya Pemprov DKI juga harus terlibat dalam pendanaan, termasuk pemerintah pusat. Karena kan itu kepentingan bersama.

Soal kemacetan, apa yang akan Anda lakukan untuk mengurai dan menghilangkan stigma orang Jakarta sebagai kota macet?

Saya bukan pemimpin yang ganti pemimpin ganti policy, karena itu hanya akan membuang-buang waktu, tenaga, dan biaya saja. Sayangnya belakangan pemimpin seperti ini yang muncul di Tanah Air. Hal inilah yang saya lihat membuat Indonesia menjadi stagnan karena terjadi egosentris dan egopersonal.

Saya nilai beberapa program yang disiapkan Bang Yos (Sutiyoso), Gubernur Jakarta terdahulu, wajib untuk dilanjutkan yaitu soal pola transportasi terpadu. Dia mulai dari busway karena paling mudah dan infrastrukturnya sudah ada. Tinggal mengambil satu jalur sisi jalan, tidak perlu bangun baru lagi. Setelah itu dilanjutkan dengan monorail, kemudian dilanjutkan membangun MRT, dan sekarang ada juga waterway.

Menurut saya, apa yang digariskan Pak Sutiyoso itu merupakan hasil pemikiran dari para pakar transportasi yang ada. Kalau terpilih menjadi Gubernur DKI, saya akan melanjutkannya. Pemecahan kemacetan Jakarta hanya bisa lewat pola transportasi publik yang terpadu. Monorel harus segera diselesaikan karena kontribusinya sangat besar, sehingga gabugan monorail dan MRT tidak mustahil akan menyerap 30 persen komuter.

Selain itu, juga perlu memaksimalkan jalur-jalur kereta api. Di Jakarta, harus ada double track menuju Bekasi, Tangerang, dan seterusnya. Dengan persiapan moda transportasi missal ini, ketika pada suatu titik nanti ada pembatasan kendaran pribadi, akan ada solusi untuk masyarakat pakai transportasi publik. Pembatasan kendaraan pribadi berdasarkan tahun, nomor dan warna hanya akan mendatangkan kegelisahan besar di masyarakat. Lagi pula, tenaga pengawasnya dari kepolisian akan sangat banyak. Pertanyaannya, apakah sanggup kepolisian mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut? Misalnya, hari ini nomor ganjil, besok nomor genap, itu harus ada pengawasan di seluruh DKI ini dan itu perlu banyak sekali tenaga yang harus mengawasi.

Bagaimana dengan sektor pendidikan, apa yang akan Anda lakukan?

Saya lihat di bidang pendidikan program dari Foke sudah cukup baik, dia bisa meyediakan sekolah gartis, bahkan kalau dilihat dari semua program dia menurut saya yang paling baik di bidang pendidikan. Kedua, bidang kesehatan. Kalau memang programnya baik, saya rasa akan meneruskannya, terutama sekolah gratis dan pelaksanaan bus-bus sekolah itu saya rasa baik. Hanya rutenya yang mugkin harus diperbaiki dan benar-benar melalui sekoalahan supaya lebih ramai digunakan pelajar-pelajar di Jakarta.

Soal kebudayaan Betawi yang kian meredup dengan semakin banyaknya penduduk pendatang dan modernisasi yang ada di kota ini, apa yang akan Anda lakukan untuk melestarikan budaya asli Jakarta itu?

Kita jangan hanya menjadikan masyarakat Betawi sebagai retorika. Dan budaya Betawi itu jangan cuma dilihat dari Abang None saja. Ketika Abang None digelar, baru concern pada budaya Betawi, setelah itu enggak ada concern-nya lagi. Sekarang saya tanya, pusat budaya Betawi ada di mana? Di Condet kan? Di pinggir Jakarta. Harusnya pusat budaya Betawi berada di tengah kota, di tempat yang mudah untuk dijangkau. Jadi, begitu pendatang tiba di Jakarta, dia sudah bisa langsung disentuh dengan budaya Betawi.

Saya inginnya nanti di tengah Jakarta ada sebuah tempat pertunjukkan khusus budaya-budaya Betawi, di tempat itu juga menjadi tempat orang berkumpul, semacam taman begitu. Jadi, enggak perlu lagi orang jauh-jauh untuk dapat tersentuh budaya betawi. Secara rutin, di tempat itulah nantinya budaya Betawi ditampilkan, tentunya dengan kemasan yang lebih baik, sehingga bisa menjadi obyek wisata juga.

Terkait dengan kesejahteraan wong cilik di Jakarta, banyak masyarakat kecil yang menyebut Jakarta itu kejam dengan wong kecil, karena di sisi lain banyak juga orang kaya yang begitu konsumtifnya menghamburkan uang. Disparitas ekonomi di Jakarta sudah sedimikian lebarnya. Upaya apa yang akan Anda lakukan untuk melindungi masyarakat kecil di Jakarta ini?

Sebelumnya saya sudah singgung di depan, bahwa pembangunan mal akan menimbulkan gap yang semakin membesar. Karena pedagang-pedagang yang bisa menyewa space di mal, hanya orang-orang berduit saja. Contohnya di mal ini, siapa yang sanggup bayar sewa Rp 2 miliar? Hanya mereka yang berduit. Bagaimana dengan pedagang tradisional? Mereka tidak punya uang segitu banyaknya. Maka dari itu, pemberdayaan pasar tradisonal harus diseriusi.

Saya ingin warga Jakarta itu senang pergi ke Pasar Jaya punya pemerintah, seperti yang terjadi di Pasar Beringharjo, Yogyakarta dan Pasar Sukowati, Bali. Siapa yang tidak suka belanja di pasar-pasar tradisional itu. Di Jakarta, masyarakat masih lebih suka belanja ke mal karena lebih nyaman. Karena itu, budaya berbelanja ke pasar harus digalakkan dan memperbaiki pasar-pasar di Jakarta agar tidak terkesan suram dan cipatakan budaya belanja yang menyenangkan. Contohnya di luar negeri, seperti di Victoria Market di Australia.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan pemberdayan bank-bank daerah. Bank daerah itu pun harus difokuskan untuk bantu pengusaha-pengusaha lokal. Kalau pedagang-pedagang kecil itu dibantu diberikan kredit, pasti akan menggerakkan ekonomi masyarat kelas bawah. Harus ada keberpihakan, tanpa kita nyuekin etnis-etnis tertentu yang memberikan kontribusi yang cukup besar dalam konteks menciptakan lapangan kerja.

Selain itu, sebisa mungkin saya akan menjadi pemimpin yang antipenggusuran warga di pinggir kali. Kalau saya, silakan saja dirikan rumah di pinggir sungai, tapi yang menghadap ke sungai harus terasnya, sehingga bisa lebih indah terlihatnya seperti rumah-rumah di pinggir sungai Musi, Palembang. Dengan memindahkan posisi rumah menghadap ke sungai ini juga bisa mengurangi budaya buang sampah sembarangan. Selama ini yang ada, dapur yang mengarah ke sungai. Orang kalau mikir dapur kan main asal buang saja, tapi kalau itu jadi depan rumahnya apa mau orang itu buang sampah sembarangan? Paradigma ini yang akan coba diubah.

Untuk meningkatkan kunjungan turis ke Jakarta, apa strategi Anda?

Jakarta ini sekarang belum ada positioning sebagai kota apa. Singapura sudah bisa jadi kota belanja, Jakarta jadi kota apa? Kota macet? Ha-ha-ha…

Kalau saya lihat Jakarta justru bisa mengalahkan Singpura untuk wisata belanja. Kenapa? Jakarta ini merupakan kota dengan mal terbanyak di dunia, harusnya ini menjadi potensi. Memang, ancaman keberadaan mal ini bisa mengecilkan pedagang pasar seperti yang saya sebut tadi. Makanya harus moratorium pembangunan mal. Yang bisa dilakukan sekarang adalah kelola baik-baik mal-mal yang ada di Jakarta ini. Kembangkan pasar tradisional, dengan penggabungan kedua ini saya rasa Jakarta bisa menjadi surga belanja. Orang tidak perlu lagi ke Singapura, karena harga di sana juga sudah semakin mahal. Mau merek apa? Internasional dan lokal? Di Jakarta punya semua, dan harganya lebih murah saya jamin dengan Singapura.

Untuk memosisikan diri menjadi pusat tujuan belanja dunia, Jakarta harus membangun infrastruktur yang baik mulai dari jalan sampai angkutan umum yang nyaman. Ciptakan Jakarta tidak macet sehingga orang berbelanja pun bisa dengan nyaman. Saya punya ide, Pasar Tanah Abang yang katanya terbesar se Asia Tenggara itu harus dimanfaatkan baik-baik. Bagusnya, Pasar Tanah Abang jadi tempat belanja 24 jam. Jadi, orang berbelanja tidak perlu pusing memenuhi kebutuhannya kalau sudah jam 10 ke atas, ada Tanah Abang yang akan memenuhi kebutuhan masyarakat.

Dengan rencana-rencana itu, apa Anda tidak takut untuk nantinya dikritik, bahkan dihujat? Saya ini bukan tipe pemimpin yang populis. Bagi saya, mau ratusan orang protes belum tentu itu cerminan kebutuhan masyarakat. Jadi saya akan fokus pada pemenuhan kebutuhan warga. Selain itu, untuk menjadi pemimpin Jakarta yang baik harus bisa melekatkan empat stakeholder, yakni pemerintah pusat dengan pemda sekitar, DPRD, masyarakat, dan swasta.

Pertama, pemerintah pusat dengan pemda sekitar. Membangun Jakarta enggak bisa hanya membangun Jakarta saja, tapi juga harus memikirkan membangun daerah di sekitar Jakarta. Karena kalau di sekitar Jakarta tidak sejahtera, orang luar kota pasti akan ke Jakarta terus. Masalahnya, gula hanya ada di sini, gula inilah yang harus disebar.

Kedua, bikin komunikasi yang baik dengan DPRD. Karena, mau secanggih apa pun rencana pemerintah, kalau DPRD menolak yah mentah aja ide itu kan. Padahal, sebenarnya bisa bermanfaat untuk rakyat. Ketiga, libatkan pihak swasta karena pembangunan mengandalkan anggaran saja tidak cukup. Keempat, pelibatan rakyat.

Untuk merekatkan empat pilar itu, cita-cita saya adalah menjadi gubernur yang bisa menjadi lem dari semua stakeholder tersebut. Seorang pemimpin harus memiliki komunikasi yang baik. Masalah di Jakarta ini terjadi, karena saya lihat semua elemen itu jalan sendiri-sendiri, tidak ada yang merekatkannya. Saya memang bukan Superman, saya bukan ahli, tapi saya yakin bisa menjadi lem karena mempunyai kemampuan komunikasi yang baik. Dan dari kemmapuan saya ini, saya harapkan bisa merekatkan dan menjadi lem bagi semua elemen warga di Jakarta. Saya rasa saya punya kemampuan itu.

Pilgub di Jakarta nanti pasti akan banyak yang bermain, kampanye besar modal diprediksi pasti ajang kuat-kuatan untuk meningkatkan popularitas. Kalau Anda, cara kampanye seperti apa yang akan dilakukan?

Ha-ha-ha.. Memang itu pasti banyak terjadi. Karena Pilkada DKI itu ibaratnya representasi dari pemilu nasional, pasti akan banyak orang-orang tokoh nasional yang juga akan turut meramaikan Pilkada DKI, atau mendukung calon tertentu. Media massa pun jadi cara yang pasti akan dipakai tiap kandidat. Akan tetapi, saya punya prinsip kampanye itu bukan untuk memenangkan popularitas atau pun kekuasaan. Bagi saya, kampanye adalah bagaimana kita memenangkan hati rakyat. Dengan memenangkan hati rakyat, secara otomatis dia akan memilih.

Saya punya pengalaman menarik waktu saya ikut kampanye Pileg di daerah Palembang untuk anggota DPR. Di kota itu, masyarakatnya tidak terlalu suka mengikuti perkembangan di media massa atau pun baca koran. Mereka lebih suka berkumpul. Nah dari sini, saya punya strategi sendiri, saya enggak terlalu kampanye hambur-hamburkan uang untuk iklan sana-sini mencari popularitas seperti kandidat lainnya. Bagi saya yang paling penting adalah langsung bertemu dengan calon pemilih saya.

Akhirnya waktu itu, saya kampanye sudah telat beberapa bulan dengan yang lain. Saya sebelumnya survei dan menemukan kalau orang Palembang lebih suka dikumpulkan. Nah, cara ini yang saya pakai. Walaupun kampanye hanya beberapa bulan, suara saya tertinggi keempat secara nasional. Ada sekitar 200.000 suara yang masuk ke saya.

Ketika itu, saya datangi penduduk dari desa ke desa, saya ngobrol dengan penduduk di sana. Sampai akhirnya, saya pun mulai bisa bersosialisasi dan akhirnya saya tanya, “Pak, boleh enggak saya nginap di sini?” hanya untuk tahu kehidupan sehari-hari mereka bagaimana saja. Si bapak itu malah senang. Yah sudah, saya menginap di rumah warga, bersosialisasi dengan masyarakat sana.

Demikian juga dengan hari-hari berikutnya, saya datangi dan numpang nginap di rumah warga. Kalau ada undangan kawinan dari masyarakat pun saya tidak gengsi untuk datang. Modal saya hanya organ tunggal yang tidak seberapa lah, itu saya pakai untuk bernyanyi country dari desa ke desa, dari kondangan ke kondangan. Hanya dengan cara seperti itu saya hanya habis Rp 800 juta. Bandingkan dengan teman-teman saya yang mengeluarkan uang sampai miliaran. Karena bagi saya, penting untuk mengetahui karakter pemilih kami, dan tahu bagaimana pendapat mereka. Untuk pilkada di DKI, substansinya tetap sama, saya akan berupaya memenangkan hati, bukan popularitas atau pun kekuasaan.

Terakhir, apakah keluarga Anda, termasuk istri, siap Anda maju jadi cagub DKI? Karena zaman sekarang ini orang dengan sangat mudah menghujat pemimpinnya, termasuk lewat jejaring sosial, jika mereka kurang suka dengan kebijakan pemimpinnya...

Ya, kalau (keluarga) tidak siap, masak saya maju, Mas?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com