Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah-DPR Dinilai Langgengkan Mafia

Kompas.com - 24/02/2011, 21:16 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Penolakan hak angket pembentukan Panitia Khusus Pajak di Sidang Paripurna DPR, dinilai membuktikan semakin kuatnya mafia pajak. Celakanya, pemerintah dan fraksi-fraksi pendukung di DPR yang menolak terbentuknya Panitia Khusus Pajak, berarti ikut memperkuat jaringan mafia pajak yang diduga didanai oleh perusahaan-perusahan besar.

Hal itu terungkap dalam diskusi publik Membongkar Mafia Pajak, yang diselenggarakan oleh Kaukus Muda Indonesia (KMI) di Jakarta, Kamis (24/2/2011) sore tadi.

Diskusi publik yang dihadiri puluhan akti vis mahasiswa, menghadirkan empat pembicara, yaitu Sekretaris Jenderal Asosiasi Pembayar Pajak Sasmito Hadinegoro, Anggota Komisi IX DPR Fraksi PDI Perjuangan Arif Budimanta, Direktur Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan, dan mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazir.    

"Pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh pemerintah dengan ditolaknya hak angket pajak itu lewat fraksi-fraksinya di DPR. Justru inilah yang akan melanggengkan dan memperkuat mafia pajak. Sebab, jika ingin membongkar mafia pajak, Pansus Pajak itulah sarananya. Jadi, kenapa ditolak?" tandas Sasmito.

Sasmito mengatakan, kasus Gayus HP Tambunan yang kini menjadi fokus perhatian hanyalah kasus ikan teri yang tertutup dengan praktik mafia pajak yang berlangsung lama hingga sekarang ini di antaranya mulai dari penggelapan pajak, restitusi pajak, kongkalikong pajak dan sejenisnya.

"Salah satu buktinya adalah tidak tercapai target penerimaan pajak tahun 2010, yang ternyata karena adanya restitusi pajak yang harus dikembalikan pemerintah sebesar Rp 40 triliun. Dari Rp 40 triliun, sebanyak Rp 26 triliun berasal dari restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ini artinya, eksportir Crude Palm Oil (CPO) membeli bahan baku sampai Rp 260 triliun?" tanya Sasmito, yang juga Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara.

Menurut Syahganda, sebenarnya gagasan hak angket di DPR diawali oleh sejumlah anggota Fraksi Partai Demokrat sendiri untuk mendiskreditkan nama Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie yang disebut-sebut terkait dengan beberapa perusahaannya, yakni Bumi Resources, Kaltim Prima Coal, dan Arutmin.

"Namun, setelah disadari adanya kasus besar yang melibatkan sejumlah perusahaan Amerika Serikat, Fraksi Demokrat pun urung dan menarik diri. Seperti yang kita lihat dalam voting, mereka sepenuhnya menolak Pansus Pajak," tambah Syahganda. Hal itu terlihat dengan kehadiran perwakilan parlemen AS sebelum dilakukannya pemungutan suara di DPR.

Adapun menurut Arif Budimanta dan Fuad Bawazir, kekalahan fraksi-fraksi DPR yang mendukung terbentuknya Pansus Pajak, yaitu PDI-Perjuangan, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Hati Nurani Rakyat serta dua orang anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa tak hanya menunjukkan kalahnya akal sehat, akan tetapi juga semakin subur dan kuatnya praktik mafia pajak di Indonesia.

"Setelah penolakan Pansus Pajak, senjata kami sekarang hanya mengawasi secara intensif peraturan dan kebijakan pajak melalui Panitia Kerja Pajak di Komisi IX," ujar Arif.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com