Brigitta Isworo Laksmi
Tahun lalu, jutaan manusia di Pakistan, China, dan Filipina harus bergerak, berpindah, serta ”terusir” dari rumahnya akibat berubahnya tabiat iklim. Mereka terpaksa pergi meninggalkan bagian dari sejarah hidupnya akibat bencana masif: banjir bandang atau badai—keduanya bisa saling berkait erat.
Mereka, para ”pengungsi (akibat) iklim” (climate migrants
Pola migrasi (akibat) iklim selain didorong oleh banjir dan badai juga bisa disebabkan naiknya paras muka air laut, degradasi lahan, dan berkurangnya sumber air. Pada kondisi tertentu, migrasi bisa dikatakan merupakan suatu tindakan pada kondisi ”tak ada pilihan lain” ketika langkah-langkah adaptasi diabaikan. Migrasi sering kali berkelindan dengan faktor-faktor sosial, ekonomi, demografi, dan politik.
Yang perlu mendapat perhatian serius, seperti dikatakan Direktur Divisi Pengurangan Kemiskinan, Jender, dan Pembangunan Sosial Bart W Édes, ”Dampak terberat migrasi perubahan iklim ditanggung oleh orang miskin.” Mereka yang miskin aset, mulai dari finansial hingga informasi, akan semakin terpuruk dan masa depannya lebih gelap karena pada umumnya mereka berada di garis marjinal.
Perilaku migrasi penduduk dari kawasan Asia-Pasifik dilaporkan meningkat secara eksponensial dalam beberapa dekade terakhir sebagai akibat globalisasi yang memunculkan kesenjangan kesejahteraan. Kesenjangan itu menciptakan kutub-kutub: negara yang butuh tenaga kerja dan negara-negara penyuplai tenaga kerja.
Ketika faktor perubahan iklim dimasukkan, jumlah penduduk yang bermigrasi akan bertambah secara berlipat. Faktanya, orang bermigrasi biasanya untuk meningkatkan kondisi sosial ekonominya. Mereka akan mendatangi kota-kota besar yang pembangunan ekonominya maju. Akibatnya, di kota-kota tujuan migrasi populasinya akan meningkat pesat (lihat tabel). Masalah sosial-ekonomi akan semakin tinggi dan kompleks karena ketimpangan sosial akan semakin tajam.
Populasi daerah urban di Asia-Pasifik tahun 1950 tercatat 17 persen dari jumlah total penduduk atau 230 juta orang. Persentase menjadi 39 persen (1,5 miliar jiwa) pada 2005 dan diperkirakan mencapai 50 persen total populasi pada 2025. Penduduk pedesaan menjadi dua kali lipat, dari 1,1 miliar menjadi 2,3 miliar pada periode 1950- 2005, dan mencapai puncaknya pada 2015 (2,3 miliar), lalu menurun. Penduduk kawasan urban akan terus meningkat: dari 1,8 miliar (2015) menjadi 2,5 miliar (2030) dan mencapai 3,2 miliar pada 2050.
Jika dilihat per kawasan, setiap kawasan memiliki karakter migrasi yang berbeda. Kawasan Asia Selatan dan Asia Tengah merupakan kawasan tertinggi urbanisasinya dibanding daerah lain di seluruh dunia. Tahun 1990 terjadi urbanisasi 27,2 persen dari populasi, yang meningkat menjadi 31,2 persen pada tahun 2007 (data PBB, 2008).