Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketulusan Anak Negeri di Banjir Brisbane

Kompas.com - 17/01/2011, 15:46 WIB

Di tengah derita itu, masyarakat Indonesia yang terdiri atas kalangan mahasiswa dan residen tetap (PR) bahu-membahu menolong sesama anak negeri di perantauan yang terkena dampak bencana dengan tenaga dan uang mereka.

"Tekad kita bersama adalah ’nggak’ boleh ada satu orang Indonesia pun di Brisbane yang terlantar karena bencana banjir," kata Raja Juli Antoni, mahasiswa Indonesia di UQ yang menjadi sukarelawan bagi WNI di Brisbane 12 Januari lalu.

Bahkan, kepada ANTARA yang menghubunginya dari Jakarta, Raja mengatakan warga masyarakat Indonesia di Brisbane "bisa mengatasi masalah ini" secara swadaya.

Para WNI yang tempat tinggalnya "aman" dari banjir menawarkan tumpangan kepada mereka yang terpaksa mengungsi.

Bencana banjir Queensland akibat curah hujan yang tinggi dan meluapnya sejumlah sungai yang melintasi kota Brisbane dan beberapa wilayah lainnya, seperti Sungai Bremer, Warrill, Brisbane (termasuk kota Brisbane), Logan, Albert, dan Mary itu telah memperkuat kebersamaan masyarakat Indonesia.

Alimatul Qibtiyah, mahasiswi program doktor bidang studi-studi Asia dan bisnis internasional (IBAS) Universitas Griffith asal Yogyakarta, menuturkan pengalamannya membantu para pengungsi.

Ibu rumah tangga yang akrab dipanggil Alim ini mengatakan, bantuan bagi para pengungsi tidak hanya datang dari banyak WNI di St.Lucia tetapi juga dari luar kawasan itu dengan membuka dapur umum.

"Beberapa warga yang berada di luar St Lucia juga membuka dapur umum untuk para korban, termasuk yang di Griffith yang saya koordinir. Sebenarnya kami sekeluarga juga korban karena sekitar 100 meter dari tempat kami tinggal juga terendam sampai ke atap".

"Bahkan ’sign’ (papan penanda) jalan sudah tidak kelihatan. Sebagai dampaknya selama dua hari, kami juga mengungsi ke tempat Mbak Tintin di ’on campus accommodation’ (akomodasi kampus Universitas Griffith) di Nathan, dan pada hari kedua kami pindah ke Pak Agung/Bu Era di Mt Gravat," kata Alim.

Dapur umum Griffith Saat di tempat pengungsian itulah, Alim dan beberapa warga Indonesia lain, seperti Tintin, Bambang, Igun, Eko, Yeni, Adit, Stefan, dan suaminya, Santo, berinisiatif membuka dapur umum di Griffith.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com