JAKARTA, KOMPAS.com — Terkait hasil temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa ada pelanggaran HAM dalam kasus penyiksaan dan pembunuhan di Puncak Jaya, Papua, yang melibatkan TNI, hal ini diakui oleh Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono. Ke depan, Panglima mengatakan akan menitikberatkan pendidikan guna melakukan pencegahan kekerasan HAM di Papua.
Pada masa pratugas, kata Panglima TNI, prajurit yang hendak bertugas di Papua akan dibekali pendidikan HAM. Prajurit juga akan diingatkan mengenai kondisi di Papua yang masih banyak ditinggali oleh kelompok bersenjata.
Ketika ditanya apakah TNI akan menjatuhkan hukuman yang lebih berat kepada oknum TNI yang melakukan pelanggaran HAM, Panglima menampiknya.
"Hukuman sudah ada aturannya. Kalau memang pelanggarannya berat, nanti dihukum berat. Kalau ringan, ya jangan dihukum berat. Kan tergantung dari pengadilan militer yang sangat obyektif. Dari Komnas HAM juga hadir dalam persidangan sehingga bisa menilai apakah itu pelanggaran HAM," kata Agus Suhartono.
Seperti diwartakan, Komnas HAM, pada awal pekan ini, sempat melansir adanya pelanggaran HAM yang melibatkan TNI terkait pembunuhan terhadap pemuka agama di Papua. "Terjadi pembunuhan terhadap Pendeta Kinderman Gire oleh aparat TNI. Ini sudah confirmed dilakukan saat interogasi," kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, Selasa (4/1/2011).
Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Tindak Kekerasan di Puncak Jaya, Ridha Saleh, menekankan, temuan itu sekaligus sebagai bantahan pernyataan TNI beberapa waktu lalu bahwa peristiwa di Papua itu adalah kasus tidak taat pada perintah atasan, bukan pelanggaran HAM.
Informasi yang diperoleh Komnas HAM, Pendeta Kinderman Gire yang merupakan pendeta Sidang Gereja GIDI Toragi, Distrik Tinggi Nambut, sedang menunggu kendaraan yang akan membawa bahan bakar yang dipesannya. Saat berpapasan dengan rombongan pasukan TNI dari Batalyon Infanteri 756, Kinderman disiksa, lalu dibawa pergi. Dua minggu kemudian jenazahnya ditemukan di pinggir sungai.
Dari hasil penyelidikan itu, Komnas HAM hanya mengajukan rekomendasi berupa perubahan pendekatan keamanan negara, peningkatan profesionalisme TNI, dan pengusutan dan tindakan penegakan hukum. "Kami tidak merekomendasikan Pengadilan HAM karena domain yang kami gunakan adalah UU No 39/1999," kata Ifdhal.
Berbeda dengan UU No 26/2000, UU No 39 tidak mencakup pembentukan Pengadilan HAM. Diakui Ifdhal, sempat terjadi perdebatan, tetapi pihaknya tak menemukan ada pelanggaran HAM yang sistematis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.