Pakar tata kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Johan Silas, menambahkan, kondisi trotoar juga menandakan kedekatan masyarakat dengan pemerintah. Ketika pejalan kaki bisa merasakan nyaman dan aman berjalan di trotoar, ini artinya masyarakat punya hubungan yang dekat dengan pemerintahnya.
Tak usah jauh-jauh melihat kondisi di Eropa, kita bisa melihat kedekatan masyarakat dan pemerintah melalui trotoar di Surabaya. Pemerintah ibu kota Jawa Timur berhasil merangkul warganya untuk menciptakan trotoar yang bersih, rata, aman, dan nyaman untuk pejalan kaki.
”Caranya, pemerintah harus membuat warga merasa memiliki kotanya. Untuk pedagang kaki lima, misalnya, pemerintah menyediakan tempat untuk mereka. Di Surabaya, pemberian sanksi tidak diutamakan,” tutur Johan.
Mimpi indah memiliki trotoar seperti yang diungkapkan Joga atau seperti di Surabaya belum terwujud di Jakarta. Faktanya, kondisi trotoar yang buruk di Ibu Kota memaksa pejalan kaki menyingkir dari ”habitatnya”. Jangankan dibangun sebuah tempat untuk ngopi di pinggir jalan, trotoar yang ada pun sulit dilalui pejalan kaki.
Sebagian besar trotoar kondisinya rusak atau diokupasi banyak kepentingan. Mau mencari pedagang apa saja, mulai dari pedagang makanan, koran, pulsa isi ulang, hingga pedagang telepon seluler dan obat gosok, semua ada di trotoar.
Ada lagi tukang ojek yang mangkal di trotoar sambil leyeh-leyeh menunggu penumpang. Di beberapa tempat bahkan ada tempat parkir motor dan mobil yang dibuka di atas trotoar dengan penjagaan petugas berseragam.
Pengendara sepeda motor ikut-ikutan menyerobot trotoar bila jalanan sedang macet. Sikap pengendara motor yang nyelonong di trotoar ini sering lebih galak dari pejalan kaki yang seharusnya jadi ”pemilik” trotoar.
”Saya pernah dibentak orang naik motor karena dianggap menghalangi jalan, padahal saya jalan di trotoar,” kata Niken (36), karyawati yang bekerja di Sudirman. Ketika ngotot karena merasa benar, ia malah ditendang oleh pengendara motor itu.
Buruk
Buruknya kondisi trotoar di Jakarta tercatat pada hasil penelitian yang dilakukan lembaga Clean Air Initiative for Asian Cities Center yang dibiayai oleh Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB). Hasil penelitian ini disampaikan pada ADB Transport Forum di Manila, Filipina, 25-27 Mei 2010. Dinilai dari aspek aksesibilitas pejalan kaki, dari 13 kota Asia yang diteliti, Jakarta memiliki peringkat terendah.