Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjaga Warisan Budaya Sumba

Kompas.com - 11/12/2010, 08:37 WIB

Sanggar Oriangu pun penuh sesak menjelang 17 Agustus, saat para siswa dan guru menyiapkan diri untuk lomba tarian tradisional. Setiap kelompok harus diajari tarian berbeda dengan modifikasi berbeda pula. Ada tarian berisikan kepahlawanan, pendidikan, keadilan, pengorbanan guru, kehidupan petani di sawah, kejujuran, dan kehidupan sosial.

Tarian yang terancam punah pun kembali populer. Pemerintah kabupaten setempat juga kerap meminta Hendrik menyajikan sejumlah tarian khas Sumba bersama peserta didiknya untuk menyambut kedatangan tamu atau pelantikan pejabat.

Hendrik mengaku sekali pentas dibayar Rp 500.000-Rp 2,5 juta. Jika mereka tampil di hadapan turis asing, bayarannya bisa sampai Rp 5 juta sekali tampil. Uang itu langsung dia bagikan kepada peserta didik yang umumnya anak putus sekolah dan lulusan sekolah menengah yang belum mendapat pekerjaan.

Kalau tak ada permintaan pentas, latihan rutin tetap dilaksanakan setiap Sabtu dan Minggu. Tujuannya agar anak-anak tak berkeliaran di jalanan pada malam Minggu atau hari libur.

Sebanyak 50 anak didik angkatan pertama (1982-1985) sudah menyebar ke sejumlah kecamatan dan desa untuk melatih sekaligus mempelajari dan mengkreasi tarian yang ada. Dari penyebaran anak didik Hendrik ke desa-desa itu, didapatkan lima tarian baru yang belum ditampilkan karena masih perlu dipelajari asal usul dan arti setiap gerakannya.

Sanggar serba guna

Hampir 10 angkatan telah belajar di sanggar ini. Oriangu sudah menjadi pusat pembelajaran siswa sekolah dasar dan menengah. Sejumlah sekolah di pedalaman Sumba pun datang ke Sanggar Oriangu untuk belajar tari tradisional.

”Sanggar ini saya bangun atas dukungan dana dari para biarawati Katolik di Denpasar senilai Rp 40 juta. Tujuan awalnya untuk pelestarian tari tradisional dan pelatihan tenun ikat Sumba. Tetapi kemudian berkembang menjadi sanggar serba guna,” ceritanya.

Dinas Tenaga Kerja Sumba Timur pun sering mengirimkan orang untuk mengikuti pelatihan tenun ikat di sanggar ini. Mereka umumnya lulusan sekolah menengah dan sekolah dasar. Oleh karena keterbatasan ruangan, fasilitas pendukung, dan tenaga, Sanggar Oriangu fokus pada kegiatan tarian, musik lokal, dan sastra lisan yang dipercaya bersifat mistis-magis.

Alat musik yang ditekuni Hendrik, antara lain, gong dan tambur yang masih umum digunakan. Keterbatasan tenaga dan dana membuat ia kesulitan mendalami sejumlah alat musik yang telah punah.

”Saya sedang mencari alat musik jungga yang masih tersimpan di desa-desa. Saya butuh orang khusus untuk memainkan alat musik ini. Kalau ada pemainnya, kami akan mengumpulkan generasi muda di sanggar untuk berlatih dan mementaskan jungga di hadapan para turis, pejabat daerah, dan masyarakat luas,” katanya.

Menurut Hendrik, awal 1990-an terdapat 57 sanggar. Namun, keterbatasan dana dan tidak adanya dukungan dari masyarakat mengakibatkan sanggar-sanggar itu tutup.

”Saya bertahan dengan kemampuan amat terbatas. Saya ingin Sumba tetap memiliki semangat kebudayaan asli. Jangan sampai budaya lokal Sumba punah dan yang ada hanya budaya impor. Hal ini mulai terasa sekarang,” kata Hendrik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com