Akan tetapi, penjelasan yang terakhir bukan merupakan cara terbaik dalam manajemen heterogenitas bangsa yang ideal. Membangun peradaban pluralisme tidak harus dan bahkan tidak boleh dipicu dengan konflik, apalagi dengan korban jiwa dan materi. Di sinilah peran pemerintah, yang dalam konteks Indonesia sekarang jelas merupakan bagian dari fungsi utama manajemen pemerintahan lokal atau otonomi daerah, termasuk di dalamnya aparat keamanan pada tingkat lokal.
Persoalannya, manajemen otonomi daerah sekarang lebih berbasis pada kepentingan politik yang sarat dengan orientasi pragmatis, terutama jabatan dan materi. Komunitas etnik justru dimanfaatkan sebagai basis kepentingan politik, di mana para elite politik (baik yang bertarung untuk terpilih menjadi kepala daerah maupun yang berupaya mempertahankan kekuasaan), sadar atau tidak, selalu membangkitkan semangat etnisitas.
Paguyuban etnis terutama dalam suatu wilayah otonomi dengan komunitas suku yang beragam, seperti Kota Tarakan atau Kalimantan Timur, dalam konteks ini sering dijadikan basis pengorganisasian massa atau suara untuk mendukung calon kepala daerah, anggota DPRD, serta anggota DPR dan juga DPD tertentu. Tidak heran kalau yang muncul adalah sekat-sekat etnik yang hubungan sosialnya tidak semakin cair, tetapi semakin meruncing satu sama lain.
Ketegangan sosial seperti ini semakin bertahan lama ketika kekuasaan lokal mengabaikan manajemen sosial budaya. Pada saat yang sama, istilah ”penduduk asli” atau ”putra daerah” dan ”pendatang” masih tetap menjadi bagian dari semangat sosial di tingkat lokal. Apalagi kalau kekuasaan politik dan ekonomi berada bergeser ke tangan ”kaum pendatang”, maka ketegangan dan bahkan konflik terbuka di tingkat lokal sangat mudah terpicu. Dengan demikian, kegagalan mengelola otonomi daerah dengan basis elemen komunitas etnik dan budaya yang beragam menjadi faktor penyebab munculnya konflik terbuka, seperti yang baru saja terjadi di Tarakan.
Keadaan akan semakin parah apabila jajaran aparat keamanan lambat bertindak, yang disebabkan oleh sistem komando yang kaku dengan daya tanggap yang rendah. Apalagi jika masih ditambah jebakan ”budaya orientasi uang” (ada uang baru mau menangani masalah). Maka, rakyatlah yang selalu menjadi korban.