JAKARTA, KOMPAS.com — Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak akan mencari pengganti Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah meski kasus hukum keduanya kembali bergulir.
"Pak Bibit dan Pak Chandra sebagai pimpinan KPK sampai hari ini masih berlaku. Jadi, tidak mungkin kami mencari pengganti," kata Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK Patrialis Akbar ketika ditemui di sekretariat Panitia Seleksi di gedung Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Jumat (11/6/2010).
Patrialis menegaskan, Panitia Seleksi tetap pada rencana awal, yaitu mencari satu orang pimpinan KPK, sesuai rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kejaksaan Agung memutuskan untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung atas putusan pengadilan yang membatalkan penghentian penuntutan kasus dugaan pemerasan yang diduga melibatkan Bibit dan Chandra.
Menurut Patrialis, hal itu menunjukkan niat penegak hukum dan pemerintah untuk tidak melimpahkan kasus Bibit dan Chandra ke pengadilan.
"Jadi, tidak ada satu pun alasan untuk kami memberhentikan (Bibit dan Chandra)," kata Patrialis.
Secara terpisah, Wakil Ketua KPK M Jasin mengatakan, Bibit dan Chandra tidak lagi menandatangani semua surat yang berisi kebijakan atau keputusan pimpinan komisi itu setelah kasus dugaan pemerasan yang dituduhkan kepada mereka bergulir kembali.
"Pak Bibit dan Pak Chandra tetap melaksanakan tugas, tetapi hal-hal penting yang berkaitan dengan penandatanganan semua surat dilakukan oleh kami berdua, yakni saya dan Pak Haryono," kata Jasin dalam pernyataan resmi di Jakarta.
Jasin menjelaskan bahwa hal itu disepakati oleh keempat unsur pimpinan KPK. Kebijakan itu diambil demi menjaga legalitas setiap keputusan KPK.
Meski tidak menandatangani semua surat, kata dia, Bibit dan Chandra tetap terlibat dalam setiap rapat pimpinan.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan penuntutan kasus hukum pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, harus dilanjutkan.
Pengadilan Tinggi menyatakan konstruksi kasus itu sudah tepat, yaitu Bibit dan Chandra diduga memeras, seperti diatur dalam Pasal 12 Huruf e Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sementara Anggodo Widjojo didakwa mencoba memberikan sesuatu kepada pimpinan dan pejabat KPK.
"Konstruksi hukum jelas sehingga tidak ada kekosongan hukum yang mendorong kejaksaan untuk menghentikan kasus dengan alasan sosiologis," kata juru bicara Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Andi Samsan Nganro, mengutip putusan majelis hakim.
Setelah putusan itu, sejumlah pihak berpendapat kejaksaan bisa menempuh beberapa upaya hukum, antara lain penyampingan perkara, PK, atau melanjutkan kasus itu ke persidangan.
Akhirnya, Kejaksaan Agung akan mengajukan PK atas keputusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menyatakan SKPP kasus Bibit dan Chandra tidak sah.
Jaksa Agung Hendarman Supandji saat konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (10/6/2010), mengatakan, keputusan itu sudah mendapat persetujuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebelumnya, Hendarman telah menyampaikan pendapat Kejaksaan Agung secara tertulis kepada Presiden Yudhoyono mengenai perkembangan kasus Bibit dan Chandra pada Selasa (8/6/2010) sore.
Hendarman menganggap ada kekhilafan hakim dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tentang kasus Bibit dan Chandra.
Meski mempertahankan penghentian penuntutan, Hendarman menganggap sebenarnya kasus itu cukup bukti. Situasi sosiologis menjadi alasan kejaksaan menghentikan kasus itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.