Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tenaga Muda Berantas Korupsi

Kompas.com - 07/04/2010, 03:25 WIB

Oleh Rakaryan sukarjaputra

Selepas dari Uni Soviet dan menjadi negara merdeka pada tahun 1991, Latvia langsung dihadapkan pada berbagai perubahan, khususnya dari sistem ekonomi sosialis menjadi pasar bebas. Korupsi pun tumbuh semakin marak, memanfaatkan berbagai peluang dari ekonomi pasar bebas itu. 

Wakil Direktur Biro Pencegahan dan Perang terhadap Korupsi Latvia (KNAB) Alvis Vilks menguraikan, perubahan sistem ekonomi juga mendorong privatisasi perusahaan yang sebelumnya dikendalikan negara.

Privatisasi itulah yang kemudian menjadi lahan subur bagi praktik korupsi. Banyak orang yang ingin mendapatkan keuntungan dari proses privatisasi. Proses privatisasi terkadang melibatkan pejabat publik yang mulai bekerja dengan sistem baru, tetapi terlalu lemah untuk menolak kekuatan uang. Akibatnya, korupsi menjadi masalah besar di Latvia.

Pada tahun 2000, Bank Dunia mengeluarkan laporan mengenai Latvia. Disampaikan bahwa di Latvia ada masalah korupsi yang akut sehingga Latvia disebut sebagai ”negara yang terkungkung” korupsi.

Bank Dunia pada laporan Survei Korupsi di Latvia yang disusun oleh James Anderson (dirilis pada 16 Desember 1998) telah mengidentifikasi bahwa salah satu faktor pendorong korupsi adalah masih kuatnya ”warisan” masa lalu ketika Latvia menjadi bagian dari Uni Soviet.

Di dalam sistem ekonomi tertutup pada masa itu, diskresi dan penyalahgunaan kewenangan menjadi hal yang biasa. Oleh karena itulah, sebuah langkah drastis diambil.

Latvia memutuskan untuk membentuk KNAB. Pada tahun 2009, sebanyak 142 staf di lembaga itu berusia tidak lebih dari 35 tahun. Upaya itu diambil untuk mengurangi dampak dari sistem ”kotor” warisan Uni Soviet.

Pemusatan kegiatan

Vilks menguraikan, upaya memerangi korupsi sebenarnya sudah dilakukan sejak 1995. Saat itu undang-undang pencegahan korupsi sudah diluncurkan.

UU ini menetapkan sejumlah larangan bagi pejabat-pejabat publik untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan. Langkah itu kemudian disusul dengan pembentukan Dewan Pencegahan Korupsi oleh pemerintah. Langkah ini kemudian semakin dimatangkan dengan peluncuran Rencana Antikorupsi pertama pada 1998.

Garis besar program melawan korupsi itu dibuat berdasarkan rekomendasi dari berbagai lembaga negara. Program itu juga mengacu pada sejumlah dokumen internasional, antara lain ”20 Prinsip Arahan untuk Memerangi Korupsi” yang dikeluarkan Dewan Eropa.

Akan tetapi, program-program itu menghadapi banyak kendala, salah satunya adalah tumpang tindih tugas-tugas kelembagaan dalam menangani korupsi.

Ketika itu tugas untuk memerangi korupsi diberikan ke berbagai lembaga, seperti Biro untuk Memerangi Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi, Biro Polisi Ekonomi, Polisi Keamanan, dan Polisi Keuangan.

Tugas untuk mencegah korupsi diserahkan kepada Sekretariat Eksekutif Dewan Pencegahan Korupsi dan Kejahatan, Divisi Kontrol Pencegahan Korupsi Pajak Negara.

Masalah lain, kata Vilks, terjadi kesenjangan koordinasi oleh berbagai lembaga dalam melaksanakan kegiatannya. Muncul persoalan lain, seperti penggunaan sumber daya yang tidak efektif. Dan tentunya terjadi masalah tumpang tindih fungsi di antara badan-badan tersebut.

Akan tetapi, masalah yang krusial adalah ada keengganan institusi-institusi untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan.

Kemauan kuat pemerintah

Apa yang dialami Latvia tidak banyak berbeda dengan yang dialami Indonesia saat ini, dengan kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga-lembaga yang sama-sama diberi tugas untuk memerangi korupsi.

Menyadari kelemahan-kelemahan itu, pada 8 Agustus 2000 Pemerintah Latvia menyetujui sebuah konsep. Salah satu poin paling penting adalah membentuk lembaga khusus baru untuk mencegah dan memerangi korupsi. Lembaga itu adalah KNAB yang resmi dibentuk dan mulai bekerja pada 2002.

KNAB menjadi satu-satunya lembaga yang bertugas menjalankan sekaligus sejumlah tugas penting, yaitu mencegah dan memerangi korupsi, mendidik masyarakat dalam isu-isu korupsi, mengontrol pendanaan partai-partai politik, dan kampanye-kampanye sebelum pemungutan suara.

Dengan kewenangan besar yang dimilikinya, mulai dari menyelidiki, menyidik, hingga menuntut, KNAB terbukti sukses memerangi korupsi di Latvia.

Wakil Direktur KNAB menegaskan, kewenangan besar yang dimiliki KNAB dan dukungan pendanaan yang juga baik, bersumber dari kuatnya kemauan politik pemerintah dan legislatif Latvia untuk memerangi korupsi.

Hal itu berdampak positif pada kebijakan-kebijakan maupun keputusan-keputusan pemerintah, yang mengandung muatan pencegahan korupsi, melalui kerja sama erat dengan KNAB.

Dari 146 negara yang diteliti organisasi Transparency Internasional (TI) melalui pengumuman Indeks Persepsi Korupsi, pada 2001 Latvia menempati urutan ke-59 dengan skor 3,4 dan kemudian naik ke posisi ke-51 pada 2004 (skor 4,2).

Pada tahun 2009, posisi Latvia bergeser ke posisi 56, atau sejajar dengan Malaysia, Namibia, Samoa, Slowakia, tetapi skornya adalah 4,5.

Bagaimana dengan Indonesia? Pada tahun 2009, Indonesia masih di posisi 111 dengan skor hanya 2,8 (dari skala sampai 10), bersama-sama Aljazair, Mesir, Kiribati, Togo, Djibouti, dan beberapa negara lainnya. Pantaslah bila Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD meminta kita belajar dari Latvia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com