JAKARTA, KOMPAS.com — Pers dan media massa tidak boleh menjadi corong atau alat propaganda pemerintah dalam kondisi seperti apa pun. Keberadaan pers harus menjadi penyampai informasi sesuai pemahaman yang diyakininya agar kemudian pemahaman itu bisa menjadi pemahaman publik. Dalam kondisi seperti itu, siapa saja termasuk pemerintah tidak mempunyai kapabilitas untuk menetapkan media massa atau pers dalam posisi sebagai teman (friends) atau musuh (foes).
Kesimpulan tersebut diperoleh dari paparan jurnalis senior dari Metro TV, Suryopratomo, saat berbicara dalam lokakarya yang digelar Kementerian Pertahanan, Senin (29/3/2010), bertema "Defence Image Building". Saat pidato pembukaan, Menteri Pertahanan menyampaikan keinginan pihaknya agar media massa bisa ikut berperan aktif dalam upaya bela dan pertahanan negara, terutama dalam membangun citra pertahanan Indonesia.
Terkait hal itu, Suryopratomo mengingatkan kasus yang pernah terjadi, terkait kebijakan Pemerintah Amerika Serikat (AS) menginvasi Irak di masa kepemimpinan George W Bush, yang alasan utamanya lantaran Irak dipercaya memiliki senjata pemusnah massal.
Menurut Suryopratomo, sebelum menyerang Irak, Pemerintah AS berupaya mencari dukungan politik baik di dalam maupun di luar negeri. Lantaran dapat meyakinkan, invasi AS ke Irak kemudian didukung oleh media massa ketika itu. Bahkan melalui berbagai pemberitaan di media massa, ketakutan akan kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak semakin menguat.
Namun, ketika Saddam Hussein berhasil digulingkan, tidak satu pun ditemukan senjata pemusnah massal. Hal itu kemudian memicu banyak gugatan dan pertanyaan, terutama dari kalangan warga negara AS sendiri. Mereka menggugat untuk apa mereka mengirim anak-anak mereka berperang ke Irak. Mereka juga mempertanyakan untuk tujuan apa pajak yang dibayarkan kemudian dipakai membiayai invasi ke negara itu.
"Media massa secara kritis juga kemudian menyuarakan dan memberitakan kegusaran tersebut sekaligus mencoba mencari duduk perkaranya. Dalam konteks ini, media massa tidak berperan sebagai teman atau musuh, bahkan ketika mereka memberitakan penjelasan Menteri Luar Negeri Colin Powell soal alasan invasi ke Irak. Pemberitaan itu tidak lantas menjadikan pers sebagai corong atau alat propaganda pemerintah AS," ujar Suryopratomo.
Dalam kesempatan yang sama, Bambang Harymurti menyebutkan, Indonesia masih belum bisa dikategorikan sebagai negara dengan kebebasan pers penuh. Hal itu didasari data sebuah lembaga nirlaba di Perancis, yang menempatkan Indonesia pada tahun 2008 pada posisi ke-101 dari total 175 negara yang disurvei. Sementara Freedom House dari Columbia University, Amerika Serikat, mengategorikan kondisi pers di Indonesia masih separuh bebas, yang juga menjadi salah satu hasil proses reformasi di Indonesia. Padahal secara politik, Indonesia oleh lembaga yang sama telah dikategorikan sebagai negara yang bebas, bahkan di regional Asia Tenggara (ASEAN) sejak tahun 2006.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.