Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membaca Wajah Tuhan di Dunia "Abu-abu"

Kompas.com - 04/02/2010, 00:40 WIB

Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh*

Judul buku : Tuhan di Dunia Gemerlapku
Penulis : Gilang Desti Parahita
Penerbit : Impulse-Kanisius Yogyakarta
Cetakan : 1, 2008
Tebal : 118 halaman

Dalam khazanah literer agama, Tuhan akan selalu hadir kepada manusia dalam setiap lintasan gerak. Tuhan ada dalam situasi wadag (dhahir) dan misterius (rahasia). Tuhan selalu hadir dalam setiap lintasan ciptaannya yang tersebar di alam jagat raya. Tuhan tidak hanya ada di tepat ibadah, di kafe, diskotik, bahkan tempat prostitusi, Tuhan melampaui semua itu. Sangat naif sebuah pemahaman yang hanya membaca Tuhan di masjid, gereja, kuil, vihara, candi, dan ritus religius lainnya.

Buku ini berusaha membaca pikiran Tuhan dalam berbagai dunia glamor, dunia gemerlap, dan dunia esek-esek lainnya. Buku ini hasil resportase penelitian di tengah dunia glamor masyarakat kota. Setting tempat yang digunakan adalah Yogyakarta. Dalam penjelajaha reportasenya, penulis berkenalan Daisy (bukan nama sebenarnya) yang kebetulan bersedia untuk diwawancarai, bahkan penulis juga diajak untuk melihat aktivitasnya ketika Daisy melupakan sikap hedonisnya di berbagai klub malam di Yogyakarta.

Dalam mengakuannya kepada penulis, Daisy melihat bahwa dunia glamoritas dan hedonitas yang dijalankan bersama para "pemuja kesenangan" tersebut dilakukan sebagai wujud menyalurkan hasrat dirinya terdalam yang tak pantas diintervensi orang lain. Bagi Daisy, apa yang dijalankan merupakan konsekwensi pribadi kehidupan yang sedang dijalani. Barangkali, bagi Daisy, kehidupan yang dijalani adalah fase kehidupan yang memang penuh glamoritas subjektif dirinya. Dia bebas menentukan sikap personalnya dalam menentukan pilihan hidup, yakni hidup untuk bebas.

Terlepas dari dunia glamoritas yang dijalaninya secara tekun pada malam hari, beragama, atau dekat dengan Tuhan, tetaplah kebutuhan pokok dalam dirinya. Walaupun kehidupan malam terus dijalani, Tuhan bagi Daisy jauh lebih mengerti kepada dirinya dari orang lain yang seringkali menilainya secara sepihak dan sepotong. Di malam-malam tertentu, ketika dia bersimpuh di kehadiran Tuhan, Daisy menumpahkan seluruh keluh kesahnya, sehingga di malam itulah, dirinya dengan Tuhannya sangatlah dekat, lebih dekat dari apapun juga.

Keberagamaan dan ketuhanan yang dijalani Daisy memang keluar dari jalur formal keberagamaan masyarakat. Masyarakat memahami keberagamaan sebagai ritualitas yang dijalani secara khuyuk di berbagai tempat ibadah dan ritus magis keagamaan lainnya yang mudah sekali dikenali. Beragama menurut pakem masyarakat umum, adalah beragama secara doktriner, yang memahami agama dari ajaran doktrin yang telah diajarkan oleh para ulama, kiai, pendeta, biksu, rohaniawan. Keluar dari ajaran pakem beragama tersebut dianggap telah melangkahi, bahkan dianggap "murtad" dari ajaran resmi. Bisa jadi akan dibabtis sebagai kafir, orang lain diluar golongan.

Penulis ingin memperlihatkan bahwa beragama dan bertuhan bukanlah dipahami secara linier demikian. Tafsir beragama dan bertuhan sangatlah beragam. Tipologi kesalehan dalam beragama juga bisa dipandang dalam berbagai perspektif yang kaya. Tidak sedikit kiai, pendeta, rohaniawan, atau biksu justru mendalami ajaran agamanya bukan di masjid, gereja, atau kuil. Mereka justru hadir di tengah-tengah masyarakat, baik yang di dunia lurus, dunia bengkok, bahkan sampai dunia paling buruk sekalipun dalam dunia publik.

Kiai Hamim Jazuli dari Kediri, misalnya. Beliau justru sering datang di berbagai lokalisasi di Surabaya untuk menyebarkan ajaran Islam. Gus Mik, begitu panggilan akrabnya, hadir ditengah-tengah dunia malam untuk menyedarkan mereka dari kungkungan kepalsuan hidup. Gus Mik hadir bukan dengan ajaran yang kaku, ajaran yang penuh dalil kitab suci, apalagi ajaran yang absolut. Gus Mik hadir dengan wajah senyum, berpakaian layaknya dunia malam, dan menyebarkan agamanya dengan indah, penuh harapan, dan tanpa kekerasan.

Demikian juga yang dilakukan Romo Mangunwijoyo. Spirit beragama beliau justru tercermin ketika beliau mengadvokasi masyarakat Kali Code dari arogansi negara. Beliau sangat care, perhatian dengan kaum miskin di pinggir kali tersebut. Dan disitulah beliau justru mendapatkan eksistensinya dalam memahami dan menyebarkan ajaran agamanya.

Apa yang dialami Daisy adalah sebentuk kritik terhadap pemahamaan keagamaan yang kaku, rigis, dan absolut. Walaupun Daisy tidak mampu menyebarkan ajaran agamanya, tetapi pemahaman dia atas eksistensinya bersama Tuhannya adalah kritik pedas kepada pemahaman publik bahwa mereka yang bersuka-ria di berbagai club malam adalah bentuk perbuatan amoral dan asosial. Daisy mencoba menggugat pemahaman sempit tersebut. Dia ingin beragaa berdasarkan eksistensi yang dijalaninya sendiri, dan dia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara mandiri. Sekali lagi, Daisy melihat bahwa Tuhan lebih tahu kepada dirinya pada pendapat publik.

Cara mendekati Tuhan di tengah glamoritas kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini perlu menyegarkan kembali spirit spiritualitas yang kering. Spiritualitas beragama harus lebih dikedepankan, sehingga nilai-nilai agama akan semakin dihayati secara serius dan seksama. Bukan terjebak dalam atribut formal beragama. Substansiasi beragama di tengah kehidupan itulah yang oleh penulis harus menjadi agenda serius umat beragama di dunia modern yang penuh gejolak sekarang ini.

*Aktivis LPM Arena UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com