Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Simbolisasi Gunungan Megono

Kompas.com - 02/12/2009, 13:17 WIB

Sampai kini, tumpeng masih dilestarikan baik oleh penganut Hindu maupun Islam sebagai salah satu hidangan khas pada acara-acara syukuran dan selamatan. Bagi penganut Islam, makna filosofi tumpeng tidak terlalu ditekankan. Umat Islam lebih menekankan pada wujud syukur kepada Allah SWT dengan berbagi dengan sesama.

Kirab megono

Lain lagi dengan yang diselenggarakan Pemkab Pekalongan setiap Syawal. Tumpeng sama sekali berbeda dari biasanya. Tumpeng berukuran raksasa, setinggi lebih dari 2 meter dan berdiameter lebih kurang 4 meter ini dilengkapi dengan cecek (nangka muda) yang biasa disebut dengan megono, yakni makanan khas Pekalongan. Megono dibuat dari nangka muda yang dirajang kecil-kecil dicampur parutan kelapa.

Kirab yang dihadiri oleh pejabat-pejabat Kabupaten Pekalongan bertujuan ganda. Pertama, sebagai ajang silaturahmi antarwarga dan antarbudaya lintas agama, sebagaimana diungkapkan Bupati Pekalongan pada acara tersebut. Pada acara yang dipusatkan di kawasan Wisata Linggo Asri yang sebagian penduduknya menganut agama Hindu juga dibagikan sekitar 1.500 bungkus nasi megono. Ini tentu memberi pesan bahwa kebersamaan melalui acara makan nasi megono mesti menjadi tradisi. Kebersamaan antarwarga lintas agama tentu sebuah hal yang ingin dipertahankan meski Kabupaten Pekalongan sendiri dijuluki sebagai kota santri.

Kedua, acara kirab gunungan megono dimaksudkan sebagai promosi wisata. Wisata alam Kabupaten Pekalongan kalau boleh dibilang kalah populer dengan Baturraden atau Dieng, misalnya. Melalui kirab gunungan megono setahun sekali, apakah mampu mendongkrak pemasukan? Tentu perlu upaya lebih keras dan kreatif lagi untuk menjadikan Linggo Asri sebagai obyek wisata andalan. Paling tidak bagi wisatawan lokal.

Rentetan acara yang sejatinya bermakna suci (dilambangkan dengan gunungan nasi putih) serta diiringi doa hendaknya tetap pada jalurnya sebagai ungkapan rasa syukur. Pada praktiknya, tidak seharusnya diakhiri dengan rebutan antarwarga. Mestinya kirab juga tidak terjerumus pada praktik mudharat. Awal yang khidmat hemat saya juga diakhiri dengan khidmat.

Perlu menjadi pertimbangan agar tahun depan pelaksanaan kirab gunungan megono lebih tertib dan khidmat. Tidak meniru-niru ritual serupa di daerah lain. Di samping itu perlu dipertimbangkan apakah acara hiburan musik dangdut selaras dengan acara kirab gunungan megono.

Akhwan J Saputra Pegiat di Nyalaterang Institute, Tinggal di Pekalongan

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com