”Butuh waktu sampai partai politik sendiri berbenah, menampilkan orang-orang yang unggul, yang bisa memberikan partisipasi dalam kepemimpinan dalam pemerintahan,” ujar Andi Mallarangeng saat ditemui di Jakarta, Selasa (27/10). Meski demikian, optimisme itu dibayang-bayangi oleh berbagai pendapat penuh kritik dan pandangan agak pesimistis. Ketua Program Studi Doktor Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk, misalnya, mengatakan, khusus di Indonesia, rendahnya minat generasi muda terhadap persoalan politik merupakan akibat tak adanya kepercayaan bahwa politik Indonesia sudah benar, bisa dipercaya, dan terbebas dari politik uang. Perilaku politisi juga dianggap masih jauh dari standar moral yang berlaku. Karena itu, politik masih dianggap sebagai dunia hitam. Munculnya anggapan negatif tentang politik itu dinilai Hamdi sebagai kesalahan partai politik yang gagal dalam melakukan kaderisasi. Jika seseorang ingin berkiprah dalam politik, tidak ada jaminan bahwa karier mereka akan berjalan sesuai mekanisme yang ada. Sistem jenjang karier di partai politik tidak pernah jelas karena partai sering kali mengambil kader-kader di luar partai yang memiliki uang atau popularitas tinggi untuk menduduki jabatan politik di lembaga legislatif. Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Arip Mustopha di Jakarta, kemarin, juga mengatakan, minat mahasiswa untuk berorganisasi, baik dalam organisasi kemahasiswaan di dalam maupun di luar kampus, cenderung menurun. Kondisi itu membuat mereka kesulitan mencari kader-kader baru. Akibatnya, jumlah kader baru HMI setiap tahun turun 10 persen sampai 20 persen. Arip mengatakan, berorganisasi diidentikkan dengan berpolitik, sedangkan politik dicitrakan dengan kekuasaan, arogansi, korupsi, hingga kepentingan kelompok. Kondisi itulah yang membuat mahasiswa enggan berorganisasi. Ketua Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Rendra Falentino menambahkan, mahasiswa sebenarnya masih memiliki perhatian terhadap peristiwa politik dan persoalan kebangsaan. Namun, akibat tekanan pendidikan dan pengaruh globalisasi yang menyebarkan budaya konsumtif, mereka tidak terlalu tertarik dengan dunia politik. Baik Arip maupun Rendra menyatakan, penurunan jumlah kader itu umumnya terjadi di kampus-kampus perguruan tinggi negeri. Kondisi sebaliknya justru terjadi di perguruan tinggi swasta yang justru mengalami peningkatan jumlah peminat organisasi kemahasiswaan ekstrakampus tersebut. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yang juga Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya, Hajriyanto Y Thohari, mempertajam kesalahan partai politik yang membuat kaum muda menyingkir dari dunia politik. Ia mengatakan, perekrutan pengurus partai juga sangat politis. Perekrutan pengurus didasarkan atas dukungan yang pernah diberikan kepada pimpinan partai saat pencalonan, bukan atas pertimbangan kualitas. Menurut Hajriyanto, pimpinan partai saat ini umumnya adalah pimpinan organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan sekitar 20 tahun lalu. Namun, dialektika antara pimpinan partai dan organisasi yang dahulu membesarkannya sering kali terputus. Ia menekankan, mahasiswa dan pemuda menilai partai tidak bisa memberikan harapan akan nasib mereka ke depan. Sebaliknya, partai hanya mendekati kelompok mahasiswa dan pemuda secara insidental, yaitu saat dibutuhkan saja yang biasanya dilakukan menjelang pemilu. Hajriyanto mengakui hampir semua partai politik tidak memiliki visi kepemudaan. Pimpinan partai saat ini juga tidak mampu mengartikulasikan pandangan politik mereka, baik melalui tulisan maupun literal. Hal itu membuat para mahasiswa dan pemuda tidak bisa menilai manfaat menjadi anggota partai. ”Jika kondisi ini terus terjadi, masa depan demokrasi Indonesia adalah demokrasi tanpa partai politik. Demokrasi Indonesia akan dikuasai oleh institusi-institusi di luar partai politik. Hal ini tentu akan janggal karena partai politik adalah salah satu pilar demokrasi,” ujarnya. Achmadudin Rajab, mahasiswa semester IX Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tidak melihat partai politik sebagai sumber kesalahan kurangnya minat kaum muda terhadap dunia politik. Menurut dia, fokus pada bidang studi membuat waktu kaum muda kampus abai terhadap dunia politik. Rajab mengatakan, mahasiswa yang memiliki kesibukan lain di luar studi, baik untuk berorganisasi maupun bekerja, umumnya mengalami keterlambatan penyelesaian studi. Hal ini terjadi karena mereka harus membagi waktu, perhatian, dan tanggung jawab antara studi yang mereka tempuh dan kegiatan di luar studi. Peneliti Lembaga Survei Indonesia, Burhanudin Muhtadi, mengatakan, fenomena semakin banyaknya pemuda yang apolitis itu terjadi bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Semakin turunnya minat pemuda terhadap masalah politik, kata Burhanudin, merupakan lampu merah untuk demokrasi di Indonesia. Pemuda dibutuhkan untuk kaderisasi partai politik. Tanpa pemuda, partai politik akan dikuasai oleh kelompok tua. Akibatnya, kebijakan hanya ditentukan oleh elite partai politik sehingga cenderung oligarkis. Pemerintahan oligarki yang dijalankan oleh sekelompok orang tertentu akan mengancam demokrasi.