KOMPAS.com - Dalam sebuah jumpa pers, beberapa hari menjelang upacara peringatan hari ulang tahun yang ke-64 Tentara Nasional Indonesia, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso mengaku yakin proses reformasi internal institusinya sudah dan masih terus berjalan dengan baik sesuai jalur (on the right track Walau mengakui penilaiannya itu bisa dengan gampang dicap teramat subyektif, Djoko mempersilakan masyarakat menilai sendiri proses dan perkembangannya. Aturan UU TNI mengamanatkan sejumlah isu substantif yang harus dituntaskan untuk mereformasi TNI. Beberapa isu substantif itu seperti larangan TNI berpolitik praktis dan berbisnis. Selain itu, TNI juga harus tunduk pada peradilan sipil terkait pelanggaran hukum pidana sipil oleh para prajuritnya. Dua hal substantif lainnya adalah menciptakan TNI yang profesional dan terjamin kesejahteraannya. ”Kalau tiga poin substantif pertama, kan, masyarakat bisa melihat dan menilai sendiri. Sejak reformasi, TNI sudah tidak lagi berpolitik di Senayan. Pada tanggal 16 Oktober mendatang pemerintah juga akan mengeluarkan peraturan presiden soal penertiban bisnis TNI,” ujar Djoko. Selain itu, TNI juga mempersilakan dan akan mematuhi proses legislasi terkait revisi UU tentang Peradilan Militer oleh pemerintah ataupun DPR. Sayangnya, memang, setelah empat tahun dibahas dan berujung di Panitia Khusus RUU Peradilan Militer, rancangan legislasi itu mengalami kebuntuan (deadlock). Kebuntuan terutama lantaran pemerintah, khususnya Departemen Pertahanan, masih menginginkan proses penyelidikan dan penyidikan tetap dilakukan oleh institusi peradilan militer dan bukan sipil. Meski begitu, terkait dua poin susbtantif terakhir terkait profesionalisme prajurit TNI dan pemenuhan tingkat kesejahteraannya, Panglima TNI Djoko Santoso terkesan ”angkat tangan”. Hal itu, menurut dia, akan sangat terkait dengan banyak faktor, terutama soal kemampuan, kesediaan, dan niat baik pemerintah dalam mengalokasikan anggaran yang dibutuhkan. ”Profesionalisme tidak bisa begitu saja ditingkatkan hanya dengan mengandalkan semangat patriotik. Untuk bisa profesional, tentu saja harus didukung adanya peralatan dan teknologi sistem persenjataan (alutsista) yang menunjang. Begitu juga soal pemenuhan kesejahteraan prajurit kami,” tegas Djoko. Semangat dan penilaian senada juga disampaikan dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Edy Prasetyono. Menurut dia, proses reformasi internal TNI jauh lebih baik dari upaya serupa yang dilakukan institusi lain, bahkan jika dibandingkan dengan proses reformasi birokrasi di Indonesia. Komitmen untuk mereformasi diri tersebut, tambah Edy kemudian, dikonkretkan dengan keluarnya TNI dari legislatif di DPR dan MPR sekaligus menghapus doktrin peran ganda (Dwi Fungsi) ABRI (TNI ketika itu). Komitmen TNI seperti itu, menurut Edy, terus berlanjut, bahkan hingga saat ini. Tidak ada lagi jabatan Kepala Staf Teritorial di jajaran TNI seperti pada masa lalu. Bagi prajurit ataupun perwira TNI yang ingin maju dalam pemilihan kepala daerah langsung, mereka wajib mundur dan mengajukan pensiun dini.