JAKARTA, KOMPAS.com — Proses pencekalan terhadap mantan Komisaris PT Masaro Radiokom, Anggoro Wijoyo dan Joko Tjandra, dinilai cacat. Pencekalan tersebut dilakukan sebelum status hukum Anggoro jelas.
Selain itu, cekal dan pencegahan ke luar negeri dilakukan tanpa keputusan kolegial pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Inilah yang menjerumuskan dua pimpinan KPK ke proses hukum.
Wakil Kabareskrim Mabes Polri Inspektur Jenderal Dikdik Maulana Arif mengatakan, Chandra M Hamzah melakukan pencekalan terhadap Anggoro tanpa keputusan kolektif dari lima pimpinan KPK.
"Pencekalan yang dilakukan terhadap Anggoro dan kawan-kawan yang dilakukan Chandra Hamzah sudah menyalahi ketentuan Pasal 21 Ayat 5 UU KPK karena dalam Pasal 21 (pencekalan) harus diputuskan dengan rapat pimpinan secara kolektif. Ini tidak terjadi karena KPK sifatnya kolektif," ujarnya dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (16/9).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur III Bareskrim Mabes Polri Komisaris Besar Yovianes Mahar. "Dalam menerbitkan keputusan sesuai dengan Pasal 21 Ayat 5 yang dinyatakan dalam UU KPK yang merupakan pedoman mereka bekerja ini adalah kolegial untuk mengontrol mereka agar tidak sewenang-wenang. Ini telah dilanggar oleh Chandra. Dia mengambil suatu proses cekal yang seharusnya kolegial atau kolektif dilakukan hanya sendiri tanpa diketahui pimpinan. Ada apa di balik ini," jelasnya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bibit Samad Riyanto. Dia, lanjut Yovianes, melakukan pencekalan terhadap Joko Tjandra tanpa mengetahui peristiwa yang terjadi. Ini dinilai telah melampaui batas. Dia juga diduga tidak memberitahukan masalah ini kepada empat pimpinan KPK yang lain.
"Pimpinannya tidak tahu dia sudah mencekal Joko Tjandra. Begitu pun dalam pencabutan cekal Joko Tjandra. Ini tidak melalui prosedural atau melalui substansi bahwa satgas yang melakukan penyidikan Joko Tjandra belum melakukan apa pun padanya. Maka, pimpinan Chandra M Hamzah mencabut cekalnya tanpa melalui proses pemberitahuan. Padahal, satgas dan penyidik menyatakan pencekalannya belum perlu dicabut," tuturnya.
Oleh karena itu, dia melanggar Pasal 21 yang menyatakan pengambilan putusan KPK seharusnya dilakukan secara kolegial. Chandra dan Bibit juga dinilai melampaui kewenangannya karena penetapan cekal itu dilakukan saat Joko Tjandra belum terkait penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan suatu kasus di KPK.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.