JAKARTA, KOMPAS.com — Penerapan aturan tentang rahasia negara secara konsekuen dan serius, begitu RUU Rahasia Negara disahkan dan diterapkan, dipastikan bakal menyedot alokasi anggaran yang sangat besar, terutama untuk mempersiapkan dan menggerakkan infrastruktur pendukungnya.
Penerapan secara serampangan dikhawatirkan justru hanya akan memicu penyalahgunaan kewenangan dan pengkriminalan masyarakat. Apalagi dalam kebanyakan pasal RUU itu terkesan ada lebih banyak ancaman hukuman bagi pembocor rahasia negara dari kalangan masyarakat daripada pihak pengelolanya.
Penilaian itu disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Masyarakat Sipil Global Universitas Indonesia Andi Widjojanto, Minggu (30/8). Menurutnya, jika terus dipaksakan RUU Rahasia Negara hanya akan menjadi bentuk birokratisasi ketimbang untuk melindungi rahasia negara.
Akibat ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pengamanan rahasia negara, potensi kebocorannya semakin besar. "Nah, yang ditakutkan kemudian, kebocoran itu ujung-ujungnya berpotensi mengkriminalkan masyarakat termasuk pers," ujar Andi.
Padahal, keberadaan aturan tentang rahasia negara seharusnya lebih memaksa pemerintah untuk lebih fokus pada upaya melindungi rahasia negara dan bukan untuk mengkriminalkan masyarakat, yang diduga terlibat dalam kebocoran rahasia negara itu.
Selain itu, Andi juga mengkritik, baik pemerintah sebagai pengusul maupun legislatif sebagai pihak pembahas bersama pemerintah tidak pernah memikirkan atau membayangkan bagaimana cara dan teknik operasional bentuk perlindungan terhadap rahasia negara di abad XXI ini.
Padahal, berkaca pada kejadian di salah satu negara maju beberapa waktu lalu, identitas petinggi badan intelijen negara itu terungkap hanya lantaran kesalahan sepele, sang istri pejabat itu memasang foto keluarga mereka di salah satu situs jejaring sosial di internet.
Lebih lanjut, Andi memperkirakan, penerapan aturan tentang kerahasiaan negara itu di Indonesia, jika RUU jadi disahkan, akan teramat rumit apalagi mengingat selama ini pemerintah tidak pernah memiliki metode atau mekanisme pencatatan resmi soal apa saja yang dirahasiakan di institusi dan lembaga negara strategis.
Seharusnya presiden punya catatan tentang apa saja, misalnya, yang dirahasiakan di Departemen Pertahanan atau TNI. Berapa nomor registrasi dan apa nama data, informasi, atau dokumen, yang dirahasiakan itu. Jadi 100 persen rahasia. "Mestinya seperti negara maju, nama dan nomor dokumen rahasia itu diumumkan ke publik," ujar Andi.
Padahal, ada banyak rahasia negara yang selama ini dibuat dan diterapkan di masing-masing instansi. Lebih lanjut, Andi meyakini, pada akhirnya nanti pemerintah pusat hanya akan menyerahkan penanganan dan pengelolaan rahasia negara kembali ke masing-masing instansi, bahkan ketika RUU tersebut jadi disahkan.
Anggaran besar
Sementara itu, dalam siaran persnya di Balai Wartawan Gedung DPR dan MPR Jumat lalu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramowardhani mengingatkan pengesahan dan pemberlakuan RUU Rahasia Negara akan berimplikasi besar pada kebutuhan alokasi anggaran yang sangat besar, terutama terkait upaya perlindungan rahasia negara itu.
Hasil penelitian Organisasi Keamanan dan Kerja Sama Eropa (OSCE) tahun 2007 mengungkapkan, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan dana besar hingga 9,9 miliar dollar AS untuk melindungi kerahasiaan negaranya.
"Kondisi itu juga dikritik keras di dalam negeri AS sendiri, yang banyak menilai upaya itu karena pemerintah terlalu berlebihan," ujar Jaleswari.
Hadir dalam jumpa pers itu anggota Komisi I dari Fraksi Kebangkitan Bangsa Effendy Choirie dan Mufty Maakarim (IDSPS). Menurut Jaleswari, hingga saat ini dalam Pasal 6 RUU Rahasia Negara masih mencantumkan 64 butir hal yang harus dirahasiakan.
Padahal, banyak pula dari ke-64 butir itu yang sebetulnya tidak perlu dirahasiakan karena terkait hak publik untuk tahu. Sementara setiap rahasia negara memerlukan perangkat, yang di dalamnya juga membutuhkan sumber daya manusia untuk mengelola, mengamankan, dan melindungi rahasia negara itu.
Semua itu membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Semakin banyak hal mau dirahasiakan maka semakin mahal biaya yang diperlukan. Dalam kesempatan yang sama Mufty mengkritik pasal-pasal dalam RUU Rahasia Negara yang ada sekarang, terutama terkait sanksi pemidanaan dan denda, ibarat mata pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Artinya, aturan yang ada lebih mudah mengkriminalisasi masyarakat, sedangkan kesalahan aparat pengelola nyaris tidak dikenai sanksi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.