Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Disayangkan, Pemerintah Paksakan RUU Rahasia Negara

Kompas.com - 14/08/2009, 21:21 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdhal Kasim sangat menyayangkan penyikapan pemerintah, dalam hal ini Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, yang berkeras mengegolkan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara versi departemennya dengan mengabaikan masukan serta keberatan kalangan masyarakat sipil. Hal itu disampaikan Ifdhal, Jumat (14/8) di Gedung Komnas HAM, menanggapi hasil pertemuan dan diskusi Juwono dan Dewan Pers serta perwakilan redaksi media massa pada Kamis kemarin di Gedung Dewan Pers, seperti diwartakan Kompas.

Dalam pertemuan itu Menhan juga menegaskan pendiriannya RUU itu harus sudah disahkan sebelum masa kerja pemerintah dan DPR periode 2004-2009 berakhir. Padahal, dalam pertemuan itu pula kalangan pers menyampaikan keberatan mereka terkait potensi pemberedelan pers yang dapat terjadi akibat RUU tersebut. "Saya melihat ada sikap tidak sabar yang ditunjukkan pemerintah dalam memaksakan RUU ini. Walau sudah disampaikan berkali-kali produk RUU itu sangat berdampak membatasi hak-hak masyarakat sipil. Seharusnya pemerintah mendengarkan dan menyerap kekhawatiran masyarakat dan mengakomodasinya secara lebih banyak lagi," ujar Ifdhal.

Namun, jika pemerintah hanya ingin mementingkan apa yang menjadi agendanya sendiri, menurut Ifdhal, bisa dipastikan apa yang dikhawatirkan masyarakat terkait produk RUU itu akan benar-benar terjadi. Dia meminta pemerintah bisa bersikap dewasa secara politik. "Memang kita perlu aturan tentang Rahasia Negara, tapi bukan yang ada dalam draf RUU sekarang ini. Pengaturan soal Rahasia Negara harus lah eksklusif. Jangan meluas seperti yang ada sekarang ini," tukas Ifdhal.

Lebih lanjut Ifdhal menilai pemerintah terlihat gamang setelah produk-produk aturan hukum yang selama ini memberi kekuatan terhadap negara untuk memaksa warga negaranya, macam aturan antisubversi, sudah tidak ada lagi. Akibatnya, mereka merasa perlu mengadakan kembali kelengkapan itu untuk mempertahankan kekuasaannya kembali. Cara berpikir seperti itu, menurut Ifdhal, sangat keliru dan masih menganut cara dan pola pikir pemerintahan lama yang tentunya tidak pas lagi diterapkan sekarang. "Bayang-bayang kewenangan masa lalu macam itu sepertinya masih ada di benak pemerintah, yang tentunya sekarang bertabrakan dengan aspirasi masyarakat yang merasa sekarang masanya sudah era demokratis di mana negara memang hanya punya kewenangan terbatas," ujar Ifdhal.

Jika memang menginginkan negara memiliki peran yang kuat secara signifikan, menurut Ifdhal, di sanalah perlunya pemerintah memperbaiki dan memperkuat fungsi dan peran penegakan hukum (rules of law) dari aparat-aparat terkait mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Lebih lanjut menanggapi kesan penuntasan pembahasan dan pengesahan RUU Rahasia Negara oleh pemerintah dipaksakan tuntas sebelum masa kerja pemerintah dan DPR periode 2004-2009 tuntas awal Oktober mendatang, Ifdhal mengaku tidak setuju. Menurutnya, jika memang masih banyak persoalan di dalam draf rancangannya, baik pemerintah maupun DPR tidak selayaknya untuk mempertahankan dan mengesahkannya di akhir periode kerja mereka. Mereka seharusnya lebih mementingkan kepentingan Indonesia di masa depan dan bukan hanya saat ini, apalagi demi sekadar memenuhi target legislasi mereka.

Sementara itu, dalam kesempatan terpisah, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution, mempertemukan sejumlah perwakilan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan anggota Komisi I, yang sebelumnya bersama Departemen Pertahanan membahas RUU Rahasia Negara. Anggota legislatif yang hadir seperti Ketua Komisi I Theo L Sambuaga, Marzuki Darusman, keduanya dari Fraksi Partai Golkar, dan RK Sembiring Meliala dari Fraksi PDI-P. Selain itu juga Agus Sudibyo dari Yayasan Sains Estetika dan Teknologi.

Dalam pemaparannya, Agus menyimpulkan RUU Rahasia Negara tidak mempertimbangkan masalah cek dan perimbangan kekuasaan serta fungsi kontrol. Tidak hanya itu, RUU Rahasia Negara juga menimbulkan komplikasi terhadap tiga agenda reformasi. Ketiga agenda reformasi itu antara lain pemberantasan korupsi, penyelesaian masalah HAM, dan kebebasan pers. Oleh karena itu, banyak pasal dalam RUU Rahasia Negara harus dirombak secara total.

Namun, Agus Sudibyo dari Yayasan SET mengaku masih berharap pada Komisi I, khususnya Panja RUU Rahasia Negara, masih bisa memfasilitasi dan mendengarkan aspirasi serta kekhawatiran dari kalangan masyarakat sipil. Dia mengaku kecewa dengan penyikapan pemerintah, dalam hal ini Menhan, terkait persoalan itu.

"Kami di DPR tidak ada yang namanya pembahasan RUU dilanjutkan (carry over) ke DPR periode berikut. Jadi kalau tidak selesai dalam pembahasan sekarang atau deadlock, ya pada periode mendatang harus dibuat RUU baru lagi," ujar Theo.

Dalam pertemuan Theo juga meminta masyarakat dan kalangan sipil tidak khawatir RUU tersebut akan mereka paksakan pembahasannya untuk disahkan sebelum masa kerja mereka selesai. Menurutnya, masih banyak pasal krusial yang belum selesai dan dipastikan masih akan alot dibahas di tingkat panitia kerja nanti.

Namun, tambah Theo, pihaknya bersama pemerintah tetap harus menuntaskan amanat legislasi yang telah disepakati dan diatur selama ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hormati Ganjar, Waketum Gerindra: Sikap Oposisi Bukan Pilihan yang Salah

Hormati Ganjar, Waketum Gerindra: Sikap Oposisi Bukan Pilihan yang Salah

Nasional
Ganjar Pilih di Luar Pemerintahan, Bamsoet: Boleh, tapi Kita Bekerja Gotong Royong

Ganjar Pilih di Luar Pemerintahan, Bamsoet: Boleh, tapi Kita Bekerja Gotong Royong

Nasional
Hanya Ada 2 Suplier Indonesia yang Pasok Perangkat untuk Apple, Jokowi: Memprihatinkan

Hanya Ada 2 Suplier Indonesia yang Pasok Perangkat untuk Apple, Jokowi: Memprihatinkan

Nasional
Jokowi Resmikan Indonesia Digital Test House, Anggarannya Hampir 1 Triliun

Jokowi Resmikan Indonesia Digital Test House, Anggarannya Hampir 1 Triliun

Nasional
KPK Didesak Usut Pemberian THR ke Anggota DPR dari Kementan, Panggil Bersaksi dalam Sidang

KPK Didesak Usut Pemberian THR ke Anggota DPR dari Kementan, Panggil Bersaksi dalam Sidang

Nasional
Pabrik Bata Tutup, Jokowi: Usaha Itu Naik Turun, karena Efisiensi atau Kalah Saing

Pabrik Bata Tutup, Jokowi: Usaha Itu Naik Turun, karena Efisiensi atau Kalah Saing

Nasional
KPU Ungkap Formulir C.Hasil Pileg 2024 Paniai Dibawa Lari KPPS

KPU Ungkap Formulir C.Hasil Pileg 2024 Paniai Dibawa Lari KPPS

Nasional
Soal 'Presidential Club' Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Soal "Presidential Club" Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Nasional
KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com