JAKARTA, KOMPAS.com - Sepuluh tahun setelah pelaksanaannya, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) meninjau kembali dampak pelaksanaan kebijaksanaan desentralisasi di Indonesia. Didukung oleh Decentralization Support Facility (DSF), peninjauan kembali ini menekankan pentingnya upaya meningkatkan peran dan fungsi pemerintah provinsi dalam tatanan pelaksanaan desentralisasi yang saat ini dinilai masih belum spesifik dalam mengatur lima dimensi pembangunan daerah.
Kelima bidang yang dinilai masih belum spesifik dalam pembangunan daerah adalah hukum, kebijakan, dan pranata hubungan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten; tata kelola pemerintahan provinsi; relasi fiskal pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten-kota; peran provinsi dalam pembangunan dengan perspektif kewilayahan; serta geografi dan relasi ekonomi provinsi dan kabupaten-kota. Pada saat yang sama, kegiatan ini juga meluncurkan laporan terbaru Studi Alternatif Pemekaran Daerah di Indonesia, dan Paparan Kebijaksanaan UNDP yang menyoroti peran pemerintah provinsi.
Desentralisasi sudah menjadi realita di Indonesia, kata Sofian Efendi, Penyelia Senior UNDP untuk bidang Desentralisasi, di Jakarta, Kamis (25/6).
Menurut Sofian, dalam sepuluh tahun terkhir ini, pemerintah Indonesia telah berhasil mengalihkan upaya-upaya penyediaan pelayanan publik ke pemerintah kabupaten/kota, mengalih-tugaskan sekitar 2,5 juta pegawai negeri sipil, serta menempatkan proses pertanggungjawaban kinerja pemerintah daerah langsung kepada para pemberi suara (voter) mereka.
Peningkatan peran pemerintah provinsi sebenarnya telah digariskan dalam UU No. 32/2004, namun masih memerlukan elaborasi lanjut mengenai bagaimana tepatnya peran dan posisi provinsi yang ideal dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, kata Arifin Rudiyanto, Direktur Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah.
Tantangan-tantangan seputar kebijaksanaan desentralisasi Indonesia masih bermuara pada ketidakjelasan hukum dan perundangan yang mengatur pelaksanaan kebijakan ini di tingkat provinsi. Karakter pelaksanaannya masih diwarnai oleh kebijakan yang tidak konsisten.
Pengaturan fiskal, misalnya, menyebabkan ketergantungan pemerintah provinsi terhadap transfer dana dari pemerintah pusat. Ketatnya alokasi fiskal ini membatasi inisiasi program-program pembangunan lain pemerintah daerah, di luar sektor kesehatan dan pendidikan yang dinilai telah meningkat dengan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Disamping itu, peran dan fungsi penting pemerintah provinsi tidak begitu jelas dijabarkan dalam undang-undang Pemerintahan Daerah, UU no.32/2004 dan UU no. 33/2004. Hal ini menyebabkan proses perencanaan, penganggaran dan pengawasan belum sepenuhnya terkonsolidasi sehingga berpengaruh langsung terhadap mutu pelaksanaan dan pengadaan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Lebih lanjut lagi, walaupun pemerintah provinsi belum memiliki fungsi dan peran yang jelas, namun mereka dibutuhkan untuk mewakili pemerintah pusat dalam mengemban fungsi dan tugas pemerintah pusat. Karena pemerintah provinsi tidak memiliki wewenang administratif terhadap pemerintah kabupaten/kota, upaya pelaksanaan pengawasan pun menjadi sulit. Hal ini turut menyebabkan lemahnya wewenang keuangan pemerintah provinsi terhadap pemerintah kabupaten/kota.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.