Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Swasembada Beras: Tinggalkan Cara Instan, Perkuat Fondasi

Kompas.com - 28/04/2009, 10:28 WIB

KOMPAS.com — Pascakrisis perberasan akhir tahun 2006, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla membuat dua langkah besar. Langkah tersebut adalah restrukturisasi pimpinan Perum Bulog dan gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional, dengan cara memperbesar subsidi benih dan pupuk bersubsidi.

Di luar dua hal itu, belum ada langkah besar yang konkret dan mendasar yang dilakukan pemerintah untuk dapat menjadi pijakan kelangsungan swasembada beras pada masa mendatang.

Hal mendasar yang tidak disentuh dengan sungguh-sungguh, antara lain, adalah pembangunan dan perbaikan jaringan irigasi dan jalan pertanian secara masif. Lompatan teknologi pertanian untuk meningkatkan pendapatan petani dan daya saing harga beras di pasar dunia, modernisasi mesin penggilingan padi, dukungan pembiayaan, dan ketersediaan lahan akibat konversi lahan pertanian.

Restrukturisasi Perum Bulog, yang diikuti reformasi internal, memang telah menumbuhkan kepercayaan baru pada masyarakat terhadap lembaga ini. Sebelumnya, Bulog kerap dituding biang instabilitas harga beras.

Reformasi internal sejalan dengan komitmen merealisasikan pembelian lebih besar beras dalam negeri. Ini modal stabilisasi harga saat terjadi gejolak. Dengan memperbesar penyerapan, Bulog harus memperbesar distribusi beras bagi rakyat miskin agar tidak terjadi penumpukan.

Kebijakan ini terbukti tepat. Sejak restrukturisasi Bulog dilakukan, gejolak harga beras relatif tidak terjadi lagi. Keberhasilan menjaga stabilitas harga beras pada kisaran harga yang relatif menguntungkan petani telah mendorong petani untuk menanam padi.

Meningkatnya animo petani menanam padi sejalan dengan program ”instan” Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), dalam bentuk subsidi benih padi varietas unggul dan padi hibrida.

Data Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan menunjukkan, periode 2006-2009 anggaran subsidi benih meningkat tajam. Tahun 2006 hanya Rp 131 miliar, tetapi pada tahun 2009 mencapai Rp 1,32 triliun.

Anggaran subsidi pupuk pun meningkat. Bila tahun 2006 hanya Rp 4,18 triliun, tahun ini Rp 17,54 triliun sehingga kerap muncul sinisme bahwa peningkatan produksi beras adalah dampak dari program ”bagi-bagi” benih.

Melihat strategi peningkatan produksi beras nasional yang bersifat instan, apakah swasembada beras bakal bisa dilanjutkan pada masa yang akan datang?

Teknologi pertanian

Keraguan bahwa swasembada beras bakal berkelanjutan cukup beralasan karena sering kali terdengar keluhan soal terbatasnya anggaran negara untuk subsidi, termasuk pertanian.

Dalam sebuah diskusi ”Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian”, Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi menyatakan, masalah utama pembiayaan nyaris terlupakan dalam setiap pembicaraan.

Padahal, saat ini Indonesia memerlukan anggaran besar untuk membangun infrastruktur pertanian, seperti jaringan irigasi, jalan usaha tani, waduk dan bendung, serta untuk riset.

Guna mengembalikan fungsi jaringan irigasi agar kapasitasnya menyamai irigasi tahun 1985, dibutuhkan Rp 100 triliun. ”Dari mana mendapatkan sumber dana itu. Padahal, jika tidak diperbaiki, itu akan berpengaruh pada produksi padi,” kata Bayu.

Tahun 2009 total anggaran pertanian Rp 40 triliun. Adapun untuk subsidi pupuk, tahun ini jumlah anggarannya hampir tujuh kali lipat dari tahun 2005.

Berpijak dari besarnya anggaran untuk pertanian, tidak berlebihan bila Dirjen Anggaran Departemen Keuangan Anny Ratnawati mempertanyakan efektivitas penggunaan anggaran itu. Apakah hasil yang didapat sebanding dengan anggarannya?

Anny memang patut menanyakan hal itu karena anggaran pertanian yang besar ternyata tidak diimbangi program yang bagus. Banyak program pertanian belum berjalan optimal meski anggarannya sudah tersalurkan dalam jumlah besar.

Karena itu, wajar bila muncul kekhawatiran atas masa depan swasembada beras. Di satu sisi swasembada beras memang diperlukan untuk menjaga ketahanan pangan, stabilitas harga. Namun, swasembada yang dicapai dengan cara ”instan” itu telah menguras anggaran negara, yang berdampak pada pelambatan pertumbuhan sektor lain.

Karena itu, mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih mengingatkan agar pemerintah tidak terperangkap pada kebijakan perberasan untuk swasembada, tetapi harus berpikir untuk jangka panjang dan berkelanjutan. ”Kita harus memiliki cita-cita besar. Jangan hanya untuk mencapai swasembada, tetapi setelah itu berhenti dan mundur lagi,” katanya.

Cita-cita besar yang harus diperjuangkan adalah menjadikan Indonesia pemain penting dalam perdagangan beras dunia. Guna mewujudkan cita-cita itu, pengamat perberasan Husein Sawit menyarankan agar pemerintah meretas jalan sejak sekarang.

Langkah yang harus dilakukan, antara lain, adalah fokus pada peningkatan produksi beras nasional secara bertahap dalam jangka panjang, selain memproduksi beras dengan kualitas sama untuk pasar ekspor, modernisasi mesin penggilingan padi untuk menjaga kualitas dan pengepakan, mencari peluang pasar ekspor, serta memproduksi beras dengan harga kompetitif, agar dapat bersaing di pasar dunia. ”Tanpa serangkaian terobosan itu, Indonesia hanya akan dapat menjadi eksportir dalam kapasitas kecil,” katanya.

Husein menjelaskan, modernisasi mesin penggilingan bisa dilakukan oleh Bulog, sebagai lembaga parastatal yang juga berperan sebagai perusahaan untuk merebut pasar beras dunia. Investasi besar-besaran mesin penggilingan modern diperlukan untuk menghadapi persaingan perdagangan dunia.

Adapun soal teknologi pertanian, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Gatot Irianto menyatakan, saat ini pihaknya tengah melakukan uji coba sistem budidaya padi empat kali setahun.

Sistem itu dimungkinkan karena Indonesia memiliki varietas padi yang berumur sangat pendek, yang bisa dikombinasikan dengan teknik pemanenan dan pengolahan lahan yang cepat.

Dengan indeks pertanaman (IP) padi 1,6 per tahun, atau dalam setahun rata-rata pertanaman padi di Indonesia hanya 1,6 kali, dengan produksi 60,28 juta ton gabah kering giling. Peningkatan IP dari satu menjadi dua, dua menjadi tiga, serta tiga menjadi empat diharapkan produksi beras dalam negeri meningkat tajam.

Harus diingat bahwa peningkatan produksi dengan cara-cara instan tak ubahnya mendirikan rumah di atas fondasi yang rapuh. Akan mudah roboh.

(Hermas E Prabowo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com