Demokrasi yang cacat
Dalam kerangka itu, tragedi Medan adalah sebuah alarm peringatan bahaya. Tragedi itu menegaskan bahwa setelah lebih dari 10 tahun menjalani demokratisasi, bukan tak mungkin sebagian dari kita tersesat ke alamat yang salah. Wolfgang Merkel dan Aurel Croissant dalam studinya (Democratization, Desember 2004) memberi nama yang tepat untuk alamat yang keliru itu: demokrasi yang cacat alias defective democracy.
Demokrasi yang cacat bisa jadi berhasil membangun mekanisme atau tata cara demokratis yang serba rumit. Namun, ia gagal mengatasi berbagai soal pokok masyarakatnya: diskriminasi, kesenjangan antarkelompok, pendewasaan perilaku publik, penyejahteraan, dan pemakmuran.
Studi Merkel dan Croissant menunjukkan betapa demokrasi yang cacat itu tersebar di berbagai kawasan dunia yang disapu gelombang ketiga demokratisasi.
Ada beragam latar belakang pembentuk demokrasi yang cacat itu. Indonesia disebut beberapa kali sebagai contohnya. Salah satunya, bersama kasus Rusia dan Filipina, demokrasi Indonesia dipandang potensial cacat karena terpeliharanya warisan kebudayaan dan kekuasaan otokratik yang ditanam kuat dalam rentang waktu yang panjang.
Akhirnya, tragedi Medan, menurut saya, bukanlah alasan tepat untuk mengatakan bahwa berdemokrasi dan membiarkan kebebasan berkembang biak adalah kekeliruan. Alih-alih, tragedi itu justru menegaskan bahwa berdemokrasi adalah pilihan yang tepat. Hanya saja, pilihan yang tepat ini belum disertai kemampuan ”manajemen demokratisasi” yang layak. Inilah pokok soal kita!
EEP SAEFULLOH FATAH Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia