Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Rasialis Warisan Kolonial di Malaysia

Kompas.com - 05/12/2008, 09:22 WIB

Saat itu DAP dan Gerakan yang beroposisi serta berbasis masyarakat China berhasil menguasai hampir sepertiga kursi parlemen. Euforia pendukung DAP dan Gerakan berakhir dalam kerusuhan rasial yang menewaskan ratusan warga China dan India. Ratusan rumah hangus dibakar massa Melayu dalam aksi kekerasan yang dikenal sebagai peristiwa 13 Mei.

Tunku Abdul Rahman akhirnya mundur tahun 1971. Ia digantikan oleh PM Tun Abdul Razak, yang melihat peristiwa 13 Mei sebagai akibat kesenjangan ekonomi antara puak Melayu yang melarat dan non-Melayu. Ia kemudian meluncurkan kebijakan Dasar-dasar Ekonomi Baru (DEB) pada tahun itu.

Tujuannya untuk mencetak tenaga profesional puak Melayu serta penduduk asli Sabah dan Serawak melalui pendidikan. Meningkatkan aset bisnis Bumi Putra dari 2,4 menjadi 30 persen. Untuk itu, DEB menetapkan kuota bagi bagi Bumi Putra dalam berbagai aspek, termasuk dalam penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi maupun beasiswa di luar negeri.

Untuk mencapai aset bisnis 30 persen, perusahaan non-Melayu yang akan masuk ke pasar modal diwajibkan menjual 30 persen sahamnya kepada Bumi Putra. Untuk menunjang kemajuan perusahaan Bumi Putra, bank-bank negara menyediakan fasilitas kredit dengan diskon khusus. Selain itu, pelaksana proyek-proyek pemerintah diprioritaskan kepada perusahaan Melayu.

Masih banyak hal lainnya yang masuk dalam kategori ”hak istimewa” Bumi Putra. Sampai-sampai nyaris tidak masuk akal, seperti kewajiban perusahaan non-Melayu untuk mempekerjakan 30 persen karyawannya, warga Bumi Putra, prioritas perumahan yang dibangun pemerintah bagi warga Melayu dengan diskon 5-15 persen.

Selain itu, Bumi Putra mendapat prioritas dalam perizinan, memperoleh kredit perumahan maupun kendaraan. Lowongan pegawai negeri maupun BUMN diutamakan bagi warga Melayu.

Hal tabu

Kebijakan yang diskriminatif ini jelas sangat menyakitkan bagi warga negara Malaysia yang bukan Bumi Putra. Belum lama ini, misalnya, muncul keluhan karena dari 20.000 warga keturunan India yang mengajukan permohonan kredit usaha kecil tidak seorang pun yang lolos.

Diskriminasi dalam pendidikan mengakibatkan sulitnya bagi non-Melayu diterima di perguruan tinggi negeri ataupun memperoleh beasiswa kuliah di luar negeri. Adapun di sektor bisnis jauh lebih ruwet lagi. Banyak perusahaan terpaksa menjual 30 persen sahamnya di bawah nilai sesungguhnya kepada perusahaan atau perorangan dari puak Melayu. Jika tidak, rencana masuk ke pasar modal akan tertunda-tunda.

Kebijakan yang diskriminatif tersebut akhirnya menyuburkan korupsi di kalangan pejabat, elite partai dan para kroninya, termasuk proyek-proyek pemerintah, fasilitas kredit, perizinan, dan peluang menguasai 30 persen saham perusahaan non-Melayu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com