Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anwar Ibrahim dan Peralihan Kekuasaan

Kompas.com - 28/11/2008, 07:14 WIB

September sepuluh tahun lalu adalah bulan yang penuh bencana bagi Deputi PM Malaysia Anwar Ibrahim. Bintangnya yang tadinya gemerlap mendadak pudar dan lenyap. Pada bulan itu PM Mahathir Mohammad mencopotnya sebagai menteri keuangan dan deputi PM.

Masih pada bulan yang sama, Anwar Ibrahim dikeluarkan dari UMNO, partai puak Melayu yang berkuasa. Saat itu posisinya sebagai wakil presiden partai. Beberapa hari kemudian pasukan elite polisi menangkap Anwar di rumahnya di Kuala Lumpur. Ia digiring seperti halnya teroris.

Bencana ternyata tidak berhenti sampai di situ. Setibanya di ruang tahanan markas kepolisian, kedua tangan Anwar diborgol ke belakang dan matanya ditutup kain. Kepala Polisi Diraja Malaysia Inspektur Jenderal Rahim Noor menghajar Anwar Ibrahim hingga babak belur. Mantan orang nomor dua yang paling berkuasa di Malaysia itu terkapar seorang diri di lantai selnya yang dingin.

April tahun berikutnya, pengadilan memvonis Anwar Ibrahim 6 tahun penjara atas kasus korupsi. Dalam kasus sodomi, ia diganjar 9 tahun penjara pada sidang pengadilan Agustus 2000. Anwar (51) akan menghabiskan masa tuanya di rutan Kemunting. Tetapi, apakah karier politiknya akan tamat di penjara?

Itulah akhir persahabatan Anwar Ibrahim dengan ”mentornya”, PM Mahathir Mohammad. Hubungan keduanya, yang tadinya disebut-sebut seperti ayah dengan anak, pecah berkeping ketika krisis moneter melanda Asia Tenggara, 1998.

Sebagai menteri keuangan, Anwar menghendaki reformasi. Ia berbicara mengenai gawatnya korupsi dan nepotisme dalam pemerintahan Mahathir yang tidak transparan. Untuk mengatasi krisis ekonomi, Anwar melakukan penghematan anggaran, termasuk menunda pelaksanaan proyek-proyek raksasa dan menolak pemerintah menalangi utang swasta. Untuk meningkatkan penerimaan negara, ia membentuk tim yang akan memeriksa pajak perusahaan konglomerat.

Mahathir gusar terhadap kampanye antikorupsi dan nepotisme Anwar Ibrahim. Tetapi, lebih marah lagi karena proyek-proyek raksasa yang ditunda dikerjakan oleh perusahaan anaknya. Ditambah lagi perusahaan milik anaknya akan diperiksa pajaknya.

Mahathir, yang tadinya mempersiapkan Anwar sebagai calon ”putra mahkota”, dalam sekejap berubah menjadi Brutus dalam pandangannya. Ia harus ”ditamatkan” agar arwah politiknya tidak bangkit lagi dan menusuk dari belakang. Maka, setelah Anwar meringkuk di tahanan, pembersihan dilakukan.

Bintangnya gemerlap

PM Mahathir mengundurkan diri tahun 2003 dan menunjuk wakilnya, Deputi PM Abdullah Badawi, sebagai penggantinya. Baru beberapa hari dilantik, Badawi membatalkan sejumlah proyek mercusuar, termasuk pembangunan jembatan lingkar Singapura-Malaysia, yang dikerjakan oleh perusahaan milik anak Mahathir.

Mahathir terperanjat karena sebelum mundur, ia berulang kali mengingatkan agar proyek ini tetap dilanjutkan dan Badawi setuju. Sejak itu hubungan Mahathir-Badawi retak. Mahathir bahkan mulai mencerca pemerintahan PM Badawi dan menyatakan penyesalannya karena salah memilih orang yang tidak becus memimpin.

Entah dimaksud untuk menekan Mahathir atau bukan, tahun berikutnya Mahkamah Agung membebaskan Anwar Ibrahim dari tuduhan sodomi. Ia yang diperkirakan akan menghabiskan masa tuanya di rutan Kemunting ternyata menghirup udara bebas tahun 2004.

Rakyat Malaysia menyambut Anwar sebagai pahlawan, korban kezaliman kekuasaan. Mahathir terguncang dan menyesalkan pembebasan Anwar. Sebaliknya, Anwar menyatakan tidak dendam kepada Mahathir. Hal yang menambah simpati rakyat.

Seperti sebelum tahun 1998, bintangnya kembali cemerlang dan nama Anwar Ibrahim kembali meroket. Kali ini bersama Pakatan Rakyat—koalisi 3 parpol oposisi—yang digagasnya.

Dalam pemilu Maret lalu, Pakatan Rakyat membuat kejutan dengan mematahkan dominasi Barisan Nasional (BN) yang selama ini menguasai mayoritas dua pertiga kursi parlemen. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, oposisi meraih 82 dari 222 kursi parlemen serta menang dalam pemilu lokal di 5 dari 13 negara bagian.

Juli lalu, Anwar kembali membuat kejutan melalui pernyataannya, lebih dari 30 anggota parlemen dari Barisan Nasional (BN) siap membelot ke Pakatan Rakyat. Ia akan mengambil alih kekuasaan melalui mosi tidak percaya di parlemen pada 16 September.

Pernyataan tersebut menimbulkan panik dan histeria. Media massa maupun blog di internet tidak henti-hentinya menurunkan opini dan analisis. Sejak itu hari-hari yang dilalui menuju 16 September penuh ketegangan.

Mendadak BN memberangkatkan 50 anggota parlemennya ke Taiwan, 7 September lalu. Pimpinan BN menjelaskan, keberangkatan itu untuk studi banding masalah pertanian. Namun, kalangan pengamat berpendapat, itu sebagai langkah mencegah pembelotan. Anwar mengaku peristiwa ini mengganggu rencana 16 September.

Tanggal 12 September, Mendagri memerintahkan penahanan dua wartawan dan satu anggota parlemen dari kubu Pakatan Rakyat. Penahanan ini mengejutkan publik dan para pakar hukum karena menggunakan UU Keamanan Dalam Negeri (ISA). Tiga hari kemudian Menteri Perundang-undangan Zaid Ismail mengundurkan diri sebagai protes atas digunakannya UU tersebut.

Menurut Saefuddin Nasution, pengatur strategi Partai Keadilan Rakyat (PKR), komponen Pakatan Rakyat, penangkapan tersebut sekaligus intimidasi terselubung terhadap Pakatan Rakyat agar tidak berbuat sesuatu pada 16 September. Jika menolak, pemerintah tidak ragu menangkapnya.

Politik perkauman

Alhasil, 16 September berlalu tanpa peralihan kekuasaan. Kecuali sekadar melayangkan surat kepada PM Badawi. Menurut Anwar, surat tersebut menegaskan bahwa Pakatan Rakyat saat ini didukung mayoritas anggota parlemen. Ia meminta kesediaan Badawi bertemu untuk membahas masalah peralihan kekuasaan.

Badawi tidak membalas surat itu. Demikian pula ketika pekan berikutnya Anwar kembali mengirim surat. Isinya mendesak Badawi agar meminta parlemen bersidang untuk membuktikan bahwa ia didukung mayoritas.

Peristiwa ini menimbulkan kekecewaan para pendukung Anwar Ibrahim, yang begitu berharap akan terjadi peralihan kekuasaan. Kini mereka mulai meragukan klaim mengenai lebih dari 30 anggota parlemen BN yang siap membelot. Apalagi Anwar Ibrahim menolak mengumumkan nama-nama mereka, dengan alasan khawatir para wakil rakyat itu akan ditangkap.

Tetapi, jika dipahami logika peralihan kekuasaan dalam konteks perundang-undangan, Anwar Ibrahim telah berbuat maksimal dan bukan sekadar membual. Kepada Kompas di Kuala Lumpur, pertengahan Oktober lalu, Anwar mengatakan, ia sudah mengikuti aturan bagi kemungkinan suatu peralihan kekuasaan dengan mengirim dua surat kepada PM. Tetapi, PM Badawi menolaknya.

”Kami menghendaki peralihan kekuasaan secara aman dan damai. Bukan dengan kekuatan rakyat seperti di Filipina atau paksaan seperti di Bangkok saat ini,” ujarnya.

Dalam hal ini, sebagai mantan orang nomor dua dalam kepemimpinan UMNO, Anwar tahu apa risikonya jika oposisi memaksakan peralihan kekuasaan. Bukan mustahil UMNO akan memicu kerusuhan, seperti peristiwa rasial 13 Mei, yang menewaskan ratusan warga keturunan China dan India. Jalan bagi pemerintah memberlakukan keadaan darurat dan penangkapan.

Anwar memastikan rencana peralihan kekuasaan akan terwujud, tetapi tidak dalam waktu dekat, terutama karena mundurnya PM Badawi pada Maret mendatang berdampak pada rencana semula.

Tetap bertahan

Hingga saat ini Anwar Ibrahim tetap bertahan mengenai lebih dari 31 anggota parlemen BN siap lompat pagar. Dalam logika orang awam, jika hal itu terjadi, Pakatan Rakyat menjadi mayoritas (113 dari 222 kursi parlemen). Dengan sendirinya berhak membentuk pemerintahan baru.

Akan tetapi, Anwar tidak mengklaim sebagai mayoritas dalam sidang parlemen. Ini menimbulkan pertanyaan dan berbagai spekulasi. Penjelasan yang paling masuk akal adalah mayoritas yang disebut Anwar tidak mewakili rumpun Melayu.

Dalam bahasa lain, saat ini anggota parlemen Pakatan Rakyat 43 orang Melayu dan 39 non-Melayu. Besar kemungkinan 31 anggota parlemen BN yang akan membelot adalah non-Melayu sebab sulit membayangkan warga Melayu dari UMNO melakukan hal itu.

Jika ini yang dimaksud mayoritas, ia terdiri dari 43 anggota parlemen warga Melayu dan 70 non-Melayu. Mayoritas demikian sangat rawan karena akan melahirkan kesan bahwa saat ini Malaysia diperintah non-Melayu.

Situasi demikian bertentangan dengan prinsip ”ketuanan Melayu”, yang ditetapkan dalam UUD federal. Selain itu akan mengundang protes masyarakat Melayu, dengan kemungkinan pecahnya kerusuhan massal.

Anwar tidak mengutarakan hal itu karena akan berdampak negatif terhadap citra koalisi 3 parpol oposisi dalam Pakatan Rakyat. Inilah konsekuensi politik berasaskan ras dan agama.

”Bahwa Badawi tidak meresponsnya, itu masalah lain. Kita menghendaki peralihan kekuasaan secara aman dan damai. Bukan dengan kekuatan unjuk rasa seperti di Thailand atau Filipina,” kata Anwar Ibrahim.

Anwar memastikan rencana peralihan kekuasaan akan terwujud, tetapi tidak dalam waktu dekat karena mundurnya PM Badawi pada Maret mendatang berpengaruh pada rencana semula.

Kalangan pengamat berpendapat, peluang Anwar Ibrahim sebagai PM akan makin tipis jika nantinya Najib Razak resmi mengganti posisi Badawi. Razak tidak akan ragu menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan.

Kasus sodomi II yang dituduhkan pada Anwar Ibrahim baru-baru ini, misalnya, disebut-sebut didalangi Najib Razak. Indikasinya, beberapa hari sebelum melaporkan kasusnya ke polisi, Saiful Azalan (23), yang mengaku korban sodomi, bertemu dengan Najib Razak.

Sebaliknya, sebagai pengatur strategi, Saefuddin Nasution justru berpendapat bahwa Najib lebih mudah digoyang karena keterlibatannya dalam berbagai kasus, termasuk kasus pengadaan kapal selam buatan Prancis maupun kasus pembunuhan wanita Mongolia.

Kasus pembunuhan ini sedang dalam proses hukum. Dua dari tiga terdakwanya adalah pasukan elite polisi yang bertugas mengawal Deputi PM Najib Razak. Jika Najib terseret dalam kasus ini, kariernya akan berakhir.

Tetapi, beberapa hari lalu seorang terdakwa lain, Abdul Razak Baginda, analis politik dan kawan dekat Najib Razak, divonis bebas. Vonis ini sesuai dengan SMS Najib kepada Razak Baginda yang bocor dan menghebohkan. Isinya, antara lain, agar Baginda bersabar karena ia akan bebas.

Lantas, apakah masih ada peluang Anwar Ibrahim tampil sebagai PM? (Maruli Tobing)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com