Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suryadi, Pengelana dari Pariaman

Kompas.com - 20/10/2008, 17:13 WIB

”Saya seperti menyelam ke masa lalu. Banyak hal menarik dari bangsa kita yang terekam dari naskah-naskah lama. Kadang, sewaktu membaca, saya tertawa sendiri,” ujarnya.

Honor seadanya

Tahun 1998 menjadi semacam titik balik bagi Suryadi. Sejak September 1998 ia menetap di Belanda, negeri tempat naskah-naskah lama tentang Nusantara menumpuk. Ia memulai bekerja sebagai pengajar di Universiteit Leiden untuk penutur asli bahasa Indonesia.

Jalan menuju ke Leiden penuh tikungan. Setelah menunggu tanpa kepastian sebagai asisten dosen di Universitas Indonesia (UI, 1994-1998), pada pertengahan 1998 lowongan (vacature) mengajar di Universiteit Leiden datang. Peluang itu langsung ia tangkap. Lamarannya diterima.

”Ini sebenarnya soal jalan hidup saja. Soal pilihan,” kata Suryadi terkait kepergiannya dari UI.

Menunggu tanpa kepastian—juga tanpa masa depan yang jelas—seperti dilakoninya semasa menjadi asisten dosen di UI, bukan hal baru. Sebelumnya, saat diajak Lukman Ali (alm)—dan didukung filolog senior Achadiati Ikram—untuk merintis pengembangan studi Bahasa dan Sastra Minangkabau di UI, Suryadi sudah tiga tahun diterima sebagai asisten dosen di almamaternya: Universitas Andalas (Unand) di Padang.

Seperti halnya saat meninggalkan UI, di Unand pun ia menunggu tanpa kepastian kapan diangkat menjadi dosen tetap. Tentang hal ini, ia hanya berkata, ”Konon, kata mereka, karena tak ada posisi. Tapi anehnya, yang belakangan lulus dari saya diangkat jadi dosen. Saya tidak tahu kenapa?”

Begitu pun di UI. Hidup di Jakarta dari honor sebagai asisten dosen tentu sulit dibayangkan. Di tahun terakhirnya di UI, ia menerima Rp 70.000-an sebulan. Ini pun jauh lebih baik mengingat pada tahun awal ia mendapat honor Rp 35.000 sebulan.

Untuk biaya kontrak rumah saja tak cukup. Menyiasati keadaan ini, Suryadi mendekati teman-teman sesama asisten dosen. Dengan semangat gotong royong ia bersama empat teman bisa menyewa rumah kontrakan di Gang Fatimah, Depok, Jawa Barat.

Bagaimana untuk hidup sehari-hari? ”Saya terpaksa mencari obyekan. Misalnya, selama beberapa tahun saya membantu Ibu Pudentia di Asosiasi Tradisi Lisan. Barangkali memang tidak ada suratan tangan saya menjadi pegawai negeri,” katanya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com