Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keberuntungan Yogyakarta Punya Rakyat yang Istimewa...

Kompas.com - 03/10/2008, 07:19 WIB

Dihubungi secara terpisah, sejarawan dan guru besar Fakultas Ilmu Budaya UGM Bambang Purwanto mengatakan, yang paling besar dalam menentukan keistimewaan Yogyakarta itu rakyat, sedangkan elite itu hanya ”katut”.

”Di zaman kemerdekaan 1945 merupakan masa awal-awal peran rakyat yang besar demikian, pula pada zaman reformasi 1998 ada peranan rakyat untuk mendorong terjadinya reformasi. Dalam isu lokal guna melestarikan keistimewaan Yogyakarta, bisa dilihat pula peran rakyat yang besar dalam mengkritisi proses pembangunan Ambarrukmo Plaza dan wacana tentang pembangunan parkir bawah tanah di bawah Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Ini semua menunjukkan peran rakyat,” ujarnya.

Titik penting

Titik penting yang dipakai untuk menentukan sejarah keistimewaan Yogyakarta antara lain Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 dari Presiden Soekarno dan Maklumat (Amanat) 5 September 1945 dari HB IX dan PA VIII yang berisi pernyataan dua pemimpin itu untuk menggabungkan wilayahnya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

HB IX memang dikenal mempunyai wawasan yang luas, mempunyai kedekatan dengan rakyat jelata dan kemampuan yang luar biasa dalam melihat visi ke depan. Namun, HB IX juga diuntungkan oleh rakyatnya yang mempunyai kesadaran tinggi dalam bidang politik jauh sebelum kemerdekaan.

Kesadaran yang tinggi tentang hak merdeka dan nasionalisme diperoleh rakyat berkat pendidikan yang lama mereka peroleh melalui berbagai sekolah yang didirikan penjajah maupun elite bangsawan.

Menurut sejarawan Abdurrahman Surjomihardjo, sebenarnya sebelum Belanda melakukan gerakan Politik Etis tahun 1900- 1942, juga sebelum zaman Politik Konservatif 1800-1870, Keraton Yogyakarta telah mendirikan sekolah pada 1848, yaitu Sekolah Tamanan dan Sekolah Madya. Kedua sekolah itu bertujuan memberikan pendidikan bagi keluarga Keraton dan keluarga (putra Sentana).

Namun, pada tahun 1867, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Sekolah Gubernemen yang berlokasi di Keraton, yaitu di Sri Manganti dan Pagelaran. Dengan berdirinya sekolah gubernemen itu, pihak kolonial Belanda melakukan tekanan pada Sekolah Tamanan maupun Sekolah Madya, hingga akhirnya kedua sekolah itu menghentikan aktivitasnya.

Pemerintah kolonial Belanda kemudian mendirikan Sekolah Rakyat (SR). Meski mendapat pendidikan dari kolonial, priayi yang memiliki kepedulian pada nasib bangsa terus berupaya mendirikan lembaga pendidikan sendiri. Dari upaya mendirikan sekolah ”swasta” atau sekolah partikelir itulah lahirlah gerakan kebangsaan, seperti Boedi Oetomo (1908), Muhammadiyah (1912), dan Taman Siswa (1922).

Ketika zaman kemerdekaan, dan terutama saat ibu kota Republik Indonesia harus berpindah ke Yogyakarta tahun 1946, Yogyakarta menjadi kota perjuangan yang berisi pejuang dari berbagai suku, bangsa, dan agama. Semua diterima dengan senang hati oleh Sultan HB IX. Bahkan, tak sekadar diterima, sejumlah pemimpin dari daerah lain juga dibiayai hidupnya oleh HB IX.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com