Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kampiun- kampiun Globalisasi

Kompas.com - 15/08/2008, 03:00 WIB

Globalisasi menjadi salah satu kekuatan penting yang paling berpengaruh dalam membentuk bangun perekonomian global 50 tahun terakhir. Globalisasi dipercaya juga merupakan kunci penting untuk keluar dari kemiskinan global. Namun, seperti diungkapkan oleh Sekjen Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO Pascal Lamy, akan tetap ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan dalam proses globalisasi.

ita juga tahu sejak era Ricardo (David Ricardo—ekonom pencetus teori keunggulan komparatif sebagai basis globalisasi dan liberalisasi perdagangan) bahwa manfaat dari perdagangan tidak terdistribusikan secara merata, akan ada yang menang (winners) dan ada yang kalah (losers),” ujar Lamy.

Persoalannya, siapa pemenang dan siapa pecundang itu? Pandangan konvensional para pengusung ideologi globalisasi dan liberalisasi perdagangan meyakini, liberalisasi perdagangan akan lebih menguntungan negara-negara dunia ketiga ketimbang negara-negara industri maju.

Faktanya, menurut Peter H Lindert dari University of California-Davis dan Jeffrey G Williamson dari Harvard University (Globalization and Inequality: A Long History), tidak selalu begitu. Dalam beberapa kasus, seperti liberalisasi pasca-Perang Dunia, yang lebih diuntungkan adalah negara-negara maju.

Namun, menurut Lindert dan Williamson, fakta ini tidak lantas berarti globalisasi lebih menguntungkan negara-negara kaya, tetapi lebih bahwa globalisasi menguntungkan mereka yang meliberalisasikan pasarnya (terutama negara industri baru) dan ”menghukum” (penalize) mereka yang memilih tidak membuka pasarnya, dengan meninggalkan mereka di belakang.

Karena premis ini dan juga tuntutan realitas global, dalam beberapa dekade terakhir, negara-negara berkembang berlomba-lomba mengintegrasikan diri ke pasar global dengan membuka pasarnya untuk memanfaatkan momentum liberalisasi pasar global.

Partisipasi dan meningkatnya integrasi perekonomian negara berkembang ke perekonomian global itu antara lain terlihat dari meningkatnya kontribusi perdagangan internasional (tercermin dari ekspor dan impor), meningkatnya arus finansial global (tercermin dari investasi portofolio neto, terutama ekuitas dan surat utang), serta meningkatnya arus investasi internasional (tercermin dari investasi langsung asing/FDI).

Sayangnya, sampai sekarang tidak ada jaminan bahwa semakin terbuka pasar, semakin besar pula manfaat yang dipetik. Beberapa studi, termasuk yang dibuat Bank Dunia, menunjukkan adanya korelasi antara globalisasi dan liberalisasi dengan pertumbuhan ekonomi, tetapi sifatnya tak konklusif.

Beberapa studi lain (Elsabe Loots: Globalisation, Emerging Markets, and The South African Economy) justru menunjukkan tak adanya korelasi langsung antara keterbukaan ekonomi dan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara (lihat tabel).

Contoh sukses

China, India, dan sejumlah negara Asia Timur selama ini sering disebut sebagai simbol sukses negara berkembang yang mampu memetik manfaat dari globalisasi dan contoh sukses model pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh ekspor (export-led growth).

AS boleh jadi masih merupakan perekonomian terbesar dalam sistem kapitalisme global sekarang ini. Namun, supremasi ekonomi negara ini terus tergerus, terutama dengan bangkitnya ekonomi emerging markets, seperti China dan India. Sejak liberalisasi ekonomi tahun 1978, China terus mencatat pertumbuhan PDB rata-rata 9,4 persen per tahun.

Pada awal 2000-an China sudah menyalip Jerman sebagai perekonomian ketiga terbesar dunia. Kini, Jepang pun sudah disalip. Kontribusi China terhadap PDB global tahun 2007 (World Economic Outlook/WEO, 2007) mencapai 10,8 persen, hanya kalah dari AS (21,4 persen).

Sebagai perbandingan, Jepang (6,6 persen), India (4,6), Jerman (4,3), Inggris (3,3), Rusia (3,2), Perancis (3,2), dan total negara sedang berkembang/NSB (41 persen).

Catatan Goldman Sachs Economic Research, bangkitnya China sekarang ini berdampak jauh lebih besar terhadap perekonomian dunia ketimbang industrialisasi Jepang pada pasca-Perang Dunia II atau kebangkitan Macan Asia setelah dekade 1960-an. Dalam waktu hanya 10 tahun terakhir, China mampu melampaui capaian Jepang dalam 30 tahun lebih dalam soal ekspansi ekspor.

Pertumbuhan pesat China ini menyumbang besar pada fenomena inflasi global dewasa ini.

Pangsa ekspor Macan Asia terhadap ekspor global hanya meningkat 6,6 persen selama kurun 1960-1997, sedangkan China dalam sekitar satu dekade terakhir saja meningkat 4,4 persen lebih. Pangsa China terhadap output manufaktur global meningkat tiga kali lipat sejak 1980 dan naik dari 4 persen (1995) menjadi 8 persen (2005).

Ini menempatkan China sebagai eksportir produk manufaktur ketiga terbesar setelah Jerman (9,2 persen) dan AS (8,6 persen). Pertumbuhan pangsa China terhadap PDB dunia sekarang ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Jepang pada puncak kejayaannya.

Pada tahun 1978 total nilai perdagangan (ekspor dan impor) China hanya 20,6 miliar dollar AS, tahun 2006 sudah 1,76 triliun dollar AS (hanya kalah dari AS dan Jepang). Kontribusi perdagangan terhadap PDB sudah mencapai 64 persen pada tahun 2005 (sebagai perbandingan AS 21 persen dan Jepang 25 persen).

Dewasa ini China dan India adalah pemain terbesar di industri barang dan jasa teknologi informasi dan komunikasi (ICT). China berhasil menggusur AS sebagai produsen dan eksportir produk ICT terbesar pada tahun 2004. Sementara itu, India adalah eksportir terbesar dunia untuk jasa ICT, jasa pendukung ICT, dan business process outsourcing.

Secara kumulatif, NSB sendiri, terutama negara Asia, sangat diuntungkan oleh kian terintegrasinya perekonomian mereka ke dalam perekonomian global sejak 1970-an.

Ini tercermin dari meningkatnya pertumbuhan ekspor NSB dari rata-rata 3 persen per tahun (dekade 1980-an) menjadi rata-rata 12 persen per tahun (dekade 1990-an) dan kini 2-20 persen, dengan rasio ekspor barang dan jasa terhadap PDB meningkat dari 21 persen (1990) menjadi 26 persen (1999), bahkan kini 50-100 persen (World Economic Outlook/WEO, 2008).

Volume ekspor (dalam dollar AS) manufaktur NSB meningkat tiga kali lipat sejak awal 1990-an. Dampak globalisasi juga tercermin pada arus investasi global. Pada tahun 1997, sebanyak 42 persen total FDI global tertuju ke NSB, meningkat dari 21 persen pada tahun 1998 meskipun kemudian turun lagi menjadi 24 persen pada 1999 akibat krisis finansial Asia (Bank Dunia dan UNCTAD, 2000).

Data WEO 2008, rasio modal asing (aset dan kewajiban) terhadap PDB di NSB sekarang ini bahkan sudah mencapai 100-200 persen. Namun, di antara negara berkembang (termasuk di Asia) sendiri, sebaran manfaat juga tak merata.

(sri hartati samhadi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com