Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sate Afrika: Garing, Gurih, dan "Maknyus"

Kompas.com - 30/04/2008, 16:08 WIB

ASAP mengepul dari tungku pembakaran Sate Afrika di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (30/4). Dari tepi Jalan KS Tubun, yang jaraknya sekitar 200 meter dari tungku pembakaran, aroma daging bakar sudah menusuk hidung.

Saya kembali ke Sate Afrika milik Ismail Coulubally (51). Tahun lalu saya ke sini. Kecuali nomor telepon untuk pemesanan, kondisi tempat ini tidak berubah: masih berupa warung terbuka dengan pengunjung yang berjubel menjelang makan siang.

Imigran Afrika

Sate Afrika boleh jadi merupakan satu-satunya tempat makan khas Afrika di Ibukota. Ismail, pria asal Mali, sebuah negara bekas koloni Perancis di sub-Sahara, Afrika Barat, merintis tempat makan itu tahun 1999.

Ia masuk Indonesia tahun 1997. "Satu tahun saya dagang sepatu tetapi tidak ada untung. Saya putar otak. Orang Afrika di sini kebanyakan dagang tekstil, obat, sampai narkoba dan uang palsu. Tapi belum ada ada yang dagang makanan," kata Ismail yang telah menikah dengan seorang wanita Sunda.

Pria berjanggut lebat yang mengusai Bahasa Perancis, Italia, Arab, Indonesia, dan tentu saja bahasa Mali, memutuskan untuk berbelok haluan. Ia lalu merintis usaha tempat makan khas Mali di Jalan KS Tubun nomor 6, di antara Museum Tekstil dan Gedung Indonesia Power.

Semula, pengujungnya kebanyakan orang Afrika, sekarang orang Indonesia lebih banyak. Nama Sate Afrika yang terdengar eksotik boleh jadi mengundang rasa ingin tahu banyak orang untuk mampir ke tempat itu.

Namun warung itu sesungguhnya tanpa nama. Sate Afrika merupakan nama yang tersebar di antara pelanggan, kemudian terlanjur terkenal. Meski disebut sate, jangan bayangkan masakan Ismail itu seperti sate dalam arti yang umum.

Sate atau satai dalam leksikon kuliner Indonesia adalah irisan daging kecil-kecil yang ditusuk dan dipanggang, diberi bumbu kacang atau kecap. Sate Ismail Coulubally tidak ditusuk, tidak diberi bumbu kacang atau kecap.

"Kalau pakai tusuk lalu dibakar, bagian daging yang berada di tusukan tidak kena api, masih berdarah. Itu tidak baik," katanya. Proses pembuatan masakan Ismail lebih mirip barbekeu dan ketika disajikan tampilannya lebih mirip kambing guling. Hanya saja dagingnya lebih garing.

"Dalam bahasa daerah saya, masakan ini namanya diby soko. Diby bisa diterjemahkan sebagai sate dan soko artinya daging. Jadi ini bisa disebut sate daging," kata Ismail.

Di Mali, kata dia, daging yang digunakan biasanya daging kambing, domba, sapi, dan unta. "Daging unta juga enak, tergantung cara memasaknya. Di sini saya pernah coba daging kambing tetapi baunya keras. Domba lebih lembut baunya," kata Ismail lagi.

Domba yang dipakai adalah domba betina, berusia satu sampai dua tahun dengan berat badan maksimal 20 kilogram. Domba-domba itu dipesan dari Cipanas, Jawa Barat. Ismail memesan dua sampai tiga ekor domba setiap hari.

Tidak banyak bumbu

Dalam mengolah masakannya, Ismail tidak menggunakan banyak bumbu. Meski begitu satenya terasa empuk, garing, dan gurih. Rasa dagingnya menonjol. Menurut salah seorang karyawan tempat itu, bumbunya hanya penyedap rasa dan garam.

Ismail juga menyediakan sambel lampung yang dicampur dengan mustard. Orang bisa mencocol potongan daging dalam sambal yang dicampur mustard tersebut. Namun tanpa dicocol sambal pun rasa satenya sudah makyus.

Proses pengolahannya tergolong sederhana "Pertama, daging dipotong-potong dalam ukuran besar, lalu dibakar di atas bara sampai hampir matang," kata Ismail.

Selanjutnya, daging diungkep dalam panci. "Tidak pakai air atau minyak. Nanti minyak dagingnya keluar sendiri. Itu sekitar 20 menit. Minyak itu dibuang. Jadi kolesterolnya mati (tidak ada). Makanya, makan makanan saya tidak akan kolesterol atau darah tinggi karena minyaknya sudah dibuang. Ketika memotong daging, lemak-lemaknya juga kami buang," katanya.

Setelah diungkep, daging dipotong-potong kecil kemudian dibakar sampai matang. Selama proses itu, lemaknya terus keluar. Potongan daging lalu dimasukkan ke dalam panci kecil, ditaburi garam halus, penyedap rasa serta irisan bawang bombay mentah. Panci digoyang-goyang agar garam dan penyedap rasa tersebar merata. Kemudian daging dibungkus pakai aluminium foil dan ditaruh di atas tungku pembakaran yang masih panas. Kalau ada pelanggan, bungkusan tinggal dibuka, daging disuguhkan.

Pilihan menu ada dua macam, sate daging atau jeroan. Sate daging seporsi harganya Rp 35.000 sementara jeroan Rp 30.000.

Satu lagi keunikan tempat ini. Sate disajikan bersama pisang tanduk mengkal yang digoreng tanpa tepung. Pisang? Ya, pisang! Di Afrika, kata Ismail, orang biasa makan pisang sebagai sumber karbohidrat, dan lauknya daging. Meski begitu, buat Anda yang merasa belum makan kalau belum menyentuh nasi, tidak usah kuatir, nasi juga tersedia.

Warung tersebut buka hanya sekitar tiga-empat jam sehari yaitu dari pukul 11.00 sampai pukul 14.00 atau 15.00. Nah, kalau suatu saat Anda ke sana berombongan, sebaiknya lakukan pemesanan terlebih dahulu. Nomor kontak yang bisa dihubungi yaitu 0856 9100 0806.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com