Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Issei" Tanaka, dari Fuji ke Merapi

Kompas.com - 16/04/2008, 01:46 WIB

Orang-orang muda Jepang itu terbakar semangat penyatuan Asia Pasifik yang didengungkan kekaisaran. ”Saya harus mendukung tanah air,” kenang Tanaka.

Namun, sebagian pemuda Jepang diam-diam memendam kekecewaan kepada kekaisaran ketika menemui kenyataan bahwa kehadiran mereka di Indonesia adalah sebagai penjajah baru. Orang-orang muda ini segera bergabung dengan para pemuda Indonesia yang tengah mempersiapkan kemerdekaan.

Bagi para serdadu yang diam-diam telah bersimpati kepada rakyat Indonesia itu, kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik adalah pintu gerbang untuk bergabung dengan pergerakan rakyat Indonesia melawan agresi Belanda yang membonceng tentara Sekutu.

Dalam catatan Yayasan Warga Persahabatan, yayasan yang dibentuk mantan serdadu Jepang yang tinggal di Indonesia, jumlah tentara Jepang yang tidak kembali ke negara asal setelah tahun 1945 mencapai 2.000 orang. Sebanyak 1.500 orang tewas dalam perang melawan Belanda.

Hingga kini tinggal enam orang yang masih hidup, satu di antaranya adalah Abdul Rosid atau Yukitoshi Tanaka. Sebanyak 28 orang Jepang, yang berstatus veteran Indonesia, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Kisah tentang mantan serdadu Jepang yang ikut pemuda Indonesia berperang melawan Belanda banyak muncul di daerah. Misalnya kisah tentang Ichiki Tatsuo, yang memimpin perlawanan rakyat terhadap Belanda di Dampit, Malang—sebagaimana dituturkan dalam buku Pemberontakan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, penerbit Obor, 1988. Ichiki Tatsuo yang telah mengganti namanya dengan Abdul Rachman tewas diterjang peluru Belanda dalam pertempuran tanggal 9 Januari 1949.

Akan tetapi, bertahun-tahun pascakemerdekaan, kisah kepahlawanan mantan serdadu Jepang itu banyak terbungkam oleh kisah kekejaman kempetai pada romusha dan kisah penuh haru-biru tentang jugun ianfu.

Dari Fuji ke Merapi

Bagi Tanaka, keputusan untuk menetap dan membantu perjuangan rakyat Indonesia melawan agresi Belanda awalnya dilandasi rasa bimbang. ”Bagaimana nasib saya jika tetap di Indonesia? Namun, bagaimana harus menanggung malu jika pulang ke Jepang?” kenang Tanaka. Kekalahan, dalam pikiran Tanaka, lebih buruk dibandingkan dengan kematian.

Tanaka kemudian memilih menetap di Indonesia, lebih karena rasa tanggung jawabnya kepada Eulis dan Yuriko, anak pertama mereka yang waktu itu berumur dua tahun. Namun, perjalanan mengungsi membawa Tanaka bertemu dengan pasukan Siliwangi yang tengah bergerilya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com