JAKARTA, KOMPAS.com- Kesediaan sejumlah elemen masyarakat untuk menjadi amicus curiae atau sahabat pengadilan menjadi warna tersendiri dalam sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang tengah diproses oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Amicus curiae praktik hukum yang memungkinkan pihak lain di luar pihak berperkara untuk terlibat dalam peradilan.
Pendapat dari amicus curiae itu nantinya dapat digunakan untuk memperkuat analisis hukum dan menjadi bahan pertimbangan hakim.
Hingga Kamis (18/4/2024) kemarin, MK telah menerima 33 amicus curiae dan merupakan yang terbanyak sepanjang sejarah MK berdiri.
"Saya katakan di MK ini minim pengalaman amicus curiae, apalagi di perkara perselisihan hasil pilpres. Kita pernah terima, tapi di perkara pengujian undang-undang," kata Juru Bicara MK Fajar Laksono, Kamis.
Ia menyebutkan, fenomena amicus curiae ini tidak pernah terjadi pada sengketa hasil Pilpres 2004 hingga 2019 lalu.
Fajar pun menjelaskan bahwa tidak semua amicus curiae yang diterima bakal didalami, hanya ada 14 amicus curiae yang didalami yakni yang diterima hingga Selasa (16/4/2024) pukul 16.00 WIB lalu.
"Ada 14 (amicus curiae yang didalami), hari ini kan ada (total) 33 kan. Kalau di-split mana yang 16 April ada 14 (amicus curiae), nah 14 itu yang sampai dengan hari ini sudah didalami oleh hakim gitu kan, bukan berarti dipertimbangkan ya," kata Fajar.
"Dipertimbangkan atau tidak itu nanti, tapi yang penting itu 14 amicus curiae itu sudah diserahkan ke hakim dan sudah dibaca dan dicermati," sambung dia.
Begitu pula pendapat dari kelompok yang digawangi sejumlah aktivis dan eks pimpinan KPK seperti Busyro Muqoddas, Saut Situmorang, Feri Amsari, Usman Hamid, dan Abraham Samad.
Sementara itu, di antara 19 surat amicus curiae yang tidak didalami, di dalamnya termasuk pendapat yang diserahkan lima tokoh, yakni eks pimpinan FPU Muhammad Rizieq Shihab atau Habib Rizieq, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, KH. Ahmad Shabri Lubis, Yusuf Muhammad Martak, dan Munarman.
Fajar beralasan, MK terpaksa harus memberi batasan bagi surat-surat amicus curiae yang masuk, karena tingginya animo masyarakat untuk melakukannya.
"Kalau tidak dibatasi, ini RPH (rapat permusyawaratan hakim) kan terus berjalan. Nanti, ada banyak masuk, ada banyak masuk, menjadi berpengaruh terhadap proses pembahasan atau pengambilan putusan," ujar Fajar.
Fajar juga tidak bisa memastikan pengaruh surat-surat amicus curiae ini terhadap putusan MK soal sengketa Pilpres 2024 karena itu merupakan otoritas penuh dari hakim MK.
"Kalau ditanya seberapa besar pengaruhnya, kita tidak bisa mengukur karena kembali lagi, itu keyakinannya hakim. Ini mau percaya, mau ikut, mau mempertimbangkan amicus curiae ini atau tidak," ucap dia.
Sebaiknya Dipertimbangkan
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti berpandangan, amicus curiae yang dikirimkan oleh banyak pihak menandakan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat pada Pilpres 2024.
"Fenomena banyaknya amicus ini menandakan memang pilpres kali ini bobotnya demikian luar besar, bobot dalam hal ketidakadilan yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat," kata Bivitri kepada Kompas.com, Kamis.
Oleh karenanya, menurut Bivitri, masyarakat akhinya merasa perlu memberi masukan kepada hakim secara formal dengan mengajukan diri sebagai amicus curiae, bukan sekadar berunjuk rasa.
Bivitri pun berharap, hakim MK dapat mempertimbangkan amicus curiae yang diajukan banyak elemen masyarakat meski tidak termasuk sebagai alat bukti.
Bivitri mengatakan, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa hakim harus memperhatikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, salah satunya dengan mempertimbangkan amicus curiae yang diterima.
Ia menuturkan, amicus curiae juga sudah dijadikan pertimbangan oleh hakim di beberapa negara, termasuk di Indonesia pada sejumlah perkara pidana seperti kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama dan kasus pencemaran nama baik, Haris Azhar-Fatia Maulidiyanti.
"Saya mau mengapresiasi justru yang mau mengakui praktik di negara-negara lain dan juga praktik hukum di Indonesia yang sudah sering terjadi untuk dipraktikkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum pilpres ini mengingat keterbatasan hakim dalam menggali semua masukan," ujar Bivitri.
Bivitri pun menduga hakim MK bakal mempertimbangkan amicus curiae yang masuk bila melihat sikap mereka dalam persidangan.
Menurut dia, hakim MK telah menunjukkan itikad baik dan keluar dai stigma yang membuat MK seolah menjadi mahkamah kalkulator, misalnya dengan memanggil empat orang menteri untuk dimintai keterangan.
"Saya punya dugaan, ini semua terserah hakim, punya dugaan bahwa hakim memang memperhatikan banyaknya amicus ini karena yang memasukkan juga semua bukan kaleng-kaleng," kata Bivitri.
"Saya lihat semuanya punya kredibilitas, semuanya memang ingin menjadi sahabat pengadilan secara genuine," ujar dia
https://nasional.kompas.com/read/2024/04/19/07574331/menerka-nasib-amicus-curiae-di-tangan-hakim-mk