Salah satu partai yang digadang menjadi inisiator menggulirkan hak angket, yakni PDI-P memilih terlebih dulu menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada Selasa (2/4/2024) kemarin.
Pimpinan tim hukum PDI-P, Gayus Lumbuun mengatakan, ditempuhnya gugatan ke PTUN berbeda dengan apa yang sedang berproses di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia juga menepis, dipilihnya PTUN menjadi tempat menggugat KPU karena ada kekhawatiran proses sengketa di MK bakal gagal.
"Oh tidak (khawatir). Tidak ada kaitan (dengan sidang di MK), sejak semula saya katakan, kami berbeda rezim yang kita gunakan," kata Gayus ditemui di Kantor PTUN, kawasan Cakung, Jakarta Timur, Selasa.
"Rezim hukum itu banyak. Kita menggunakan semua rezim atas nama kelembagaan hukum, bukan hasil pemilu, yang diramaikan saat ini, kami tidak ada kaitan sama sekali," ujarnya lagi.
"Adapun perbuatan melawan hukum yang dimaksudkan dalam gugatan ini adalah berkenaan dengan tindakan KPU sebagai penguasa di bidang penyelenggaraan Pemilu karena telah mengenyampingkan syarat usia minimum bagi cawapres, yaitu terhadap Saudara Gibran Rakabuming Raka," kata Gayus.
Padahal, Gayus mengatakan, Gibran saat itu belum berusia 40 tahun sebagaimana syarat usia minimum capres-cawapres yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2019.
Dia menitikberatkan bahwa KPU bahkan belum mengubah dan masih memberlakukan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 yang juga mengatur tentang syarat usia capres dan cawapres yang menyatakan bahwa usia minimal bagi capres dan cawapres adalah 40 tahun.
"Fakta empiris dan fakta yuridis yang bertentangan ini menyatu dalam penyelenggaraan Pilpres 2024. Hal itu terjadi karena tindakan melawan hukum oleh KPU, tindakan yang kemudian menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan demokrasi kita," ujar Gayus.
Perkuat upaya hukum
Lebih lanjut, Gayus mengakui bahwa gugatan ke PTUN juga ditempuh untuk memperkuat segala upaya hukum untuk membuktikan adanya penyimpangan dalam penyelenggaraan Pilpres 2024.
Dia mengatakan, tidak ada momentum khusus bagi PDI-P karena baru menggugat KPU ke PTUN saat ini.
"Tidak ada (momentum khusus), tadi saya bacakan bagaimana, kehendak dari PDI Perjuangan itu merasakan ada kerugian dan dampak bagi masyarakat (atas penyelenggaraan Pilpres 2024)," kata politikus PDI-P ini.
Gayus menyampaikan, gugatan hukum yang dilakukan PDI-P di MK maupun PTUN berbeda.
Menurut dia, apa yang tampak di MK adalah gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), sedangkan di PTUN spesifik pada KPU karena dianggap melawan hukum.
Meski berbeda, diakuinya antara gugatan di MK dan PTUN secara tidak langsung saling menguatkan perjuangan partainya mencari keadilan.
"Ya secara tidak langsung tentu saja (memperkuat). Hukum itu berkait-kaitan, dan itu memang seperti itu," ujar Gayus.
"Ya progres (hak angket) kami sempurnakan. Maka hari ini kami kan juga semacam 'ujian' terhadap saksi-saksi kami di Mahkamah Konstitusi," kata Hasto ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa.
Hasto mengatakan, ketegasan PDI-P dalam menggulirkan hak angket bakal terlihat dalam pernyataan saksi-saksi Ganjar-Mahfud di MK.
"Beberapa saksi yang berada di MK untuk mendukung di dalam dalil-dalil paslon Ganjar-Mahfud itu lah yang nanti juga akan menyempurnakan seluruh konsepsi terkait dengan penggunaan hak di DPR RI," ujarnya.
https://nasional.kompas.com/read/2024/04/03/09112691/hak-angket-pemilu-belum-bergulir-pdi-p-pilih-gugat-kpu-ke-ptun