JAKARTA, KOMPAS.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia mulai mengusut dugaan tindak pidana fraud atau penyelewengan terkait korupsi pembiayaan ekspor yang difasilitasi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memastikan ini usai menerima kunjungan dan laporan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani soal temuan dugaan korupsi atau fraud tersebut.
"Tadi pagi ada hal yang memerlukan penjelasan juga kepada teman-teman wartawan antara lain adalah dugaan tindak pidana korupsi atau fraud dalam pemberian fasilitas kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang mana sebenernya tindakan ini sudah cukup lama," kata Burhanuddin usai pertemuan dengan Sri Mulyani di Gedung Kejagung, Jakarta, Senin (18/3/2024).
Adapun temuan yang dilaporkan Sri Mulyani ke Jaksa Agung ini adalah hasil pemeriksaan dari Tim Gabungan Terpadu yang terdiri dari Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha (Jamdatun), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, dan LPEI.
Hasil temuan itu mengungkapkan ada dugaan pembiayaan bermasalah terindikasi fraud yang melibatkan empat perusahaan debitur sejak 2019-2023.
Capai Rp 2,5 triliun
Burhanuddin mengatakan, indikasi fraud yang melibatkan empat perusahaan ini mencapai Rp 2,5 trilun.
Rinciannya, empat Perusahaan debitur itu yakni PT RII dengan nilai sebesar Rp 1,8 triliun, PT SMS sebesar Rp 216 miliar.
Kemudian, PT SPV sebesar Rp 144 miliar dan PT PRS sebesar Rp 305 miliar.
"Jumlah keseluruhannya adalah sebesar Rp 2,505,119 triliun. teman-teman itu yang tahap pertama. Nanti ada tahap keduanya," ucap Burhanuddin.
Adapun keempat perusahaan yang terindikasi fraud ini bergerak di bidang nikel, batu bara, kelapa sawit, hingga perkapalan.
Setelah kasus ini dilimpahkan ke Kejagung, penyidik akan melakukan serangkaian pendalaman untuk menentukan statusnya.
Dalam pemeriksaan Kejagung nantinya pihak dari LPEI akan turut diperiksa terkait perkara ini.
6 perusahaan lain diduga terlibat
Burhanuddin juga telah melimpahkan dugaan fraud ini untuk ditangani oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung untuk didalami lebih jauh.
Meski begitu, menurut dia, masih ada enam perusahaan debitur lain yang juga diduga terlibat fraud.
Akan tetapi, Burhanuddin menyebut kasus keenam perusahaan itu masih diperiksa oleh tim gabungan.
Jika hasil pemeriksaan tim gabungan menyatakan ada indikasi fraud di enam perusahaan itu, tentunya kasusnya akan kembali dilimpahkan ke Kejaksaan Agung.
"Akan ada gelombang kedua yang terdiri dari 6 perusahaan yang terindikasi fraud senilai Rp 3 triliun dan Rp 85 miliar," ujar Burhanuddin.
Dia pun mengingatkan enam perusahaan tersebut segera memenuhi kesempatan dan arahan dari tim gabungan.
"Saya ingin mengingatkan kepada yang sedang dilakukan pemeriksaan oleh BPKP, tolong segera tindaklanjuti ini, daripada ada perusahaan ini nanti akan kami tindaklanjuti secara pidana, sampai saat ini masih pemeriksaan," kata dia.
Zero tolerance
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan peringatan kepada manajemen LPEI.
Dia menekankan tidak ada toleransi atau zero tolerance terhadap pelanggaran hukum di LPEI.
"Zero tolerance terhadap pelanggaran hukum korupsi, konflik kepentingan, dan harus menjalankan sesuai mandat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009," kata Sri Mulyani.
Bendahara negara juga menegaskan, direksi dan manajemen LPEI harus menjalankan tata kelola perusahaan yang baik dengan komitmen penuh pemberantasan korupsi.
Hal ini, kata dia, terkait LPEI memiliki peranan penting dalam aktivitas ekspor nasional.
"Kami terus menegaskan kepada direksi dan manajemen LPEI untuk terus meningkatkan peranannya dan tanggung jawabnya dan harus membangu tata kelola yang baik," ucap Sri Mulyani.
https://nasional.kompas.com/read/2024/03/19/11404681/dugaan-korupsi-di-lpei-kerugian-ditaksir-rp-25-triliun-ada-6-perusahaan-lain