Hasil perolehan suara sementara yang terekam dalam data resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI per Jumat (8/3/2024) pukul 11.00 WIB menunjukkan PDI-P dan Partai Golkar bersaing ketat merebut kursi terbanyak di parlemen.
PDI-P tercatat meraih 12.622.705 suara atau 16,39 persen, sedangkan Golkar di posisi kedua dengan 11.594.684 suara atau 15,05 persen.
Menyusul di posisi tiga ada Partai Gerindra dengan 10.245.205 suara atau 13,3 persen. Jumlah tersebut terakumulasi dari total data masuk sebanyak 65,95 persen.
Dua partai politik yang memperoleh suara tertinggi sementara, yakni PDI-P dan Partai Golkar tampak bersaing untuk memproyeksikan siapa yang berhak menduduki kursi Ketua DPR periode selanjutnya.
Lantas seperti apa mekanisme penentuan kursi Ketua dan Wakil Ketua DPR berdasarkan Undang-Undang?
Ada dua pasal di UU tersebut yang mengatur tentang mekanisme penentuan pimpinan DPR.
"Ketentuan pertama di Pasal 84 dan kedua Pasal 427D," kata Lucius kepada Kompas.com, Jumat.
Pada UU MD3 sebelumnya, yang dibuat pada 2014, penentuan kursi pimpinan DPR diatur dalam Pasal 84, di mana dituliskan bahwa terdapat tambahan satu kursi pada posisi wakil ketua DPR dari empat menjadi lima kursi.
Penambahan satu kursi di wakil pimpinan DPR pada pasal tersebut, menurut Lucius, untuk mengakomodasi jatah PDI-P sebagai peraih kursi terbanyak hasil Pemilu 2014.
"Karena mekanisme penentuan pimpinan berdasarkan paket sehingga sebagai peraih kursi terbanyak gagal mendapatkan jatah kursi pimpinan," ujar Lucius.
Pemberlakuan mekanisme penentuan pimpinan DPR berdasarkan paket pada Pasal 84 langsung diubah pada UU yang sama yakni Pasal 427D.
Pasal 427D mengatur soal mekanisme penentuan pimpinan DPR untuk hasil pemilu setelah Pemilu 2019.
"Ketentuan pada pasal 427D itu mengembalikan mekanisme penentuan pimpinan dari yang sebelumnya diusulkan dalam format paket, kembali menjadi berdasarkan jumlah kursi terbanyak (proporsional)," kata Lucius.
"Jadi Ketua DPR akan otomatis menjadi jatah parpol dengan suara terbanyak pertama. Lalu, kursi wakil ketua masing-masing diberikan kepada parpol dengan raihan kursi terbanyak kedua sampai kelima. Kalau terdapat parpol dengan kursi yang sama maka acuannya pada jumlah suara partai," ujarnya lagi.
Manuver politik
Lucius mengatakan, dengan mekanisme proporsional tersebut, maka tidak mungkin lagi ada manuver-manuver tertentu pada saat proses penentuan pimpinan DPR jika mekanismenya berkaca berdasarkan paket calon pimpinan di UU MD3 tahun 2014 dan UU Nomor 2 Tahun 2018.
Namun sebaliknya, manuver bisa datang setelah melihat penetapan jumlah kursi partai politik di Pemilu 2024.
"Manuver bisa datang dari koalisi pendukung pemerintah yang mungkin saja tidak bisa mendapuk kursi Ketua DPR karena kalah jumlah kursi dari PDI-P," ujar Lucius.
"Tetapi, kalau Golkar berhasil meraih kursi terbanyak maka mungkin enggak ada manuver dari koalisi pendukung pemerintah," katanya lagi.
"Dan karena mekanisme penentuan pimpinan berdasarkan jumlah kursi, mungkin saja akan ada manuver merubah kembali Pasal 427D UU MD3 2018," ujarnya.
"Posisi sementara jumlah suara PDI-P dan Golkar yang bersaing ketat untuk merebut posisi parpol dengan kursi terbanyak di parlemen membuat kemungkinan akan terbukanya peluang manuver politik untuk mengubah lagi mekanisme penentuan pimpinan berdasarkan Pasal 427D UU MD3 tahun 2018," kata Lucius lagi.
https://nasional.kompas.com/read/2024/03/09/06232671/menilik-bagaimana-mekanisme-penentuan-kursi-pimpinan-dpr-pasca-pemilu-2024