Migrant Care mengklaim bahwa apartemen-apartemen itu banyak dihuni Warga Negara Indonesia (WNI) yang seharusnya menerima surat suara via pos.
Menurut Migrant care, berdasarkan pantauan mereka, kotak pos yang terletak di setiap jalur tangga apartemen itu tanpa penjagaan sama sekali. Salah satunya di Wisma Sabarudin.
Isi kotak pos terhambur dan berceceran ke mana-mana, walau tak ditemukan ceceran surat suara di sana.
Lembaga pemantau pemilu terakreditasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI ini pun menduga celah ini dimanfaatkan oleh semacam sindikat "pedagang susu" alias pedagang surat suara.
"Ini lah yang dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang surat suara itu tadi. Mereka memang sengaja mencari dari kotak pos satu, ke kotak pos yang lainnya. Akhirnya dari satu, dua, sembilan, 10 sampai terkumpul banyak (surat suara)," kata staf Migrant Care, Muhammad Santosa, dalam jumpa pers di kantor Bawaslu RI, Selasa (20/2/2024).
Modus para pedagang surat suara, menurut Santosa, bakal bergerak setelah mengetahui surat suara dikirim melalui jasa ekspedisi ke kotak pos tujuan.
"Mereka kerjanya tim, tidak sendiri-sendiri; di daerah mana, siapa, di daerah mana, siapa," ujarnya.
Santosa mengatakan, mereka akan memanfaatkan lemahnya pengawasan. Apalagi, panitia pengawas luar negeri (panwas LN) tidak punya pengawas pos.
Setelah mengumpulkan surat suara dari pos, mereka bakal melegonya ke peserta pemilu yang membutuhkan suara.
"Misalkan si caleg (calon anggota legislatif) membutuhkan sekian ribu, sekian ratus, di situ lah tarik-menarik harga sekian Ringgit itu terjadi. Misalnya, 1.000 surat suara dari Malaysia nih, lalu pedagang susunya 'oke saya kasih satu surat suara 25 Ringgit atau satu suara 50 Ringgit'," kata Santosa.
Modus ini, menurut Santosa, bukan barang baru. Oleh sebab sangat rendahnya akuntabilitas, Migrant Care mendesak agar pemungutan suara melalui pos dihapuskan untuk pemilu selanjutnya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Bawaslu diketahui sepakat tak menghitung suara pemilih pos dan Kotak Suara Keliling (KSK) di Kuala Lumpur karena masalah serius pendataan pemilih dan bakal menggelar pemungutan suara ulang.
Bawaslu bahkan menyampaikan, ada dugaan satu orang menguasai ribuan surat suara yang seharusnya dikirim untuk pemilih via pos.
Tak hanya di Malaysia, dugaan perdagangan surat suara dikhawatirkan terjadi di Hong Kong.
Sebelumnya, akibat pembatasan dari pemerintah setempat, KPU melalui Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) terpaksa hanya mengadakan empat tempat pemungutan suara (TPS) di Hong Kong. Sisanya, berlangsung via pos.
Migrasi metode pemilihan ini ditengarai tidak melalui proses pendataan pemilih yang baik.
Migrant Care mengklaim bahwa ratusan pemilih disuruh pulang dari TPS di Hong Kong karena namanya terdaftar via pos. Tetapi, para pemilih itu mengaku tidak pernah menerima surat suara.
"Ketika suratnya dicek, (statusnya) tidak return to sender, tapi terkirim. Yang jadi pertanyaan, siapa yang kemudian menerima surat ini, ketika surat itu telah dari KPU-nya terkirim tapi dia (pemilih) tidak menerima. Itu ratusan kami temui dari teman-teman pekerja migran," kata staf Migrant Care lainnya, Trisna Dwi Yuni Aresta.
https://nasional.kompas.com/read/2024/02/20/17443781/migrant-care-duga-jual-beli-suara-terjadi-di-malaysia-temukan-kotak-pos