Salin Artikel

ICW Minta KPK Terbitkan Sprindik Baru Eddy Hiariej

Eddy merupakan eks Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) yang ditetapkan sebagai tersangka suap dan gratifikasi.

Namun, status hukumnya dicabut oleh putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

Peneliti ICW Diky Anandya mengatakan, putusan praperadilan tidak bisa dilawan dengan mengajukan banding di Pengadilan Tinggi (PT).

“Maka ICW mendorong agar KPK segera menerbitkan surat perintah penyidikan baru untuk dapat menetapkan kembali Eddy Hiariej sebagai tersangka,” ujar Diky dalam keterangannya kepada Kompas.com, Rabu (31/1/2024).

Diky mengungkapkan, menetapkan seseorang kembali sebagai tersangka setelah status hukum itu dicabut melalui praperadilan memang bisa dilakukan.

Hal ini merujuk pada Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 4 Tahun 2016 yang menyebut bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak membuat tindak pidana gugur.

“(Ada) kewenangan penyidik untuk menetapkan kembali seseorang sebagai tersangka dengan sedikitnya dua alat bukti baru,” kata Diky.

Dasar hukum lainnya, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 42/PUU-XV/2017 yang membuka peluang bagi penegak hukum menggunakan alat bukti sebelumnya sebagai alat bukti penetapan tersangka berikutnya. Syaratnya, alat bukti itu harus disempurnakan.

Tindakan semacam ini, kata Diky, pernah dilakukan KPK saat menetapkan Ketua DPR RI periode 2014-2019 Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka kasus e-KTP pada 2017 silam.

Saat itu, KPK kembali menjerat Setnov sebagai tersangka meski status tersangkanya telah dicabut oleh hakim tunggal Cepi Iskandar.

“KPK menerbitkan sprindik baru untuk dapat menetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka,” tutur Diky.

Sebelumnya, dalam pertimbangan putusan Hakim Tunggal PN Jaksel Estiono menyebut barang bukti untuk menetapkan Eddy dinilai tidak sesuai dengan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP.

Alasannya, barang bukti yang menjadi dasar penetapan tersangka berdasar pada surat perintah dimulainya penyelidikan (sprinlidik) bukan penyidikan (sprindik).

Penetapan tersangka Eddy oleh KPK kemudian dianggap tidak sah dan tidak berkekuatan hukum tetap.

Dalam putusannya, Estiono pun mencabut status tersangka Eddy.

“Menimbang, bahwa oleh karena penetapan tersangka terhadap Pemohon tidak memenuhi minimum 2 alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,” kata Estiono dalam sidang.

Menanggapi pertimbangan ini, Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri mengatakan terdapat perbedaan pendapat antara hakim dan KPK menyangkut dasar hukum penetapan tersangka.

Sebab, kata Ali, KPK menggunakan Pasal 44 dalam UU KPK lama maupun terbaru karena tidak terdapat perubahan.

Dalam perkara ini, Eddy diduga bersama-sama dua anak buahnya, Yogi Arie Rukmana yang berstatus sebagai staf pribadi dan pengacara sekaligus mantan mahasiswanya, Yosi Andika Mulyadi menerima suap dan gratifikasi Rp 8 miliar.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut, sebagian uang diserahkan Helmut kepada Eddy sebagai biaya fee jasa konsultasi hukum terkait administrasi hukum umum (AHU).

Helmut tengah menghadapi sengketa di internal perusahaan.

"Besaran fee yang disepakati untuk diberikan Helmut Hermawan pada Eddy sejumlah sekitar Rp 4 miliar," kata Alex dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (7/12/2023).

Kemudian, Rp 1 miliar lagi untuk keperluan pribadi Eddy dan Rp 3 miliar lain setelah Eddy menjanjikan bisa menghentikan kasus hukum yang membelit Helmut di Bareskrim Polri.

https://nasional.kompas.com/read/2024/02/01/06413071/icw-minta-kpk-terbitkan-sprindik-baru-eddy-hiariej

Terkini Lainnya

Menag Minta Jemaah Jaga Kesehatan, Suhu Bisa Capai 50 Derajat Celcius pada Puncak Haji

Menag Minta Jemaah Jaga Kesehatan, Suhu Bisa Capai 50 Derajat Celcius pada Puncak Haji

Nasional
Tinjau Pasar Baru di Karawang, Jokowi: Harga Cabai, Bawang, Beras Sudah Turun

Tinjau Pasar Baru di Karawang, Jokowi: Harga Cabai, Bawang, Beras Sudah Turun

Nasional
KPK Sebut Eks Dirut Taspen Kosasih Rekomendasikan Investasi Rp 1 T

KPK Sebut Eks Dirut Taspen Kosasih Rekomendasikan Investasi Rp 1 T

Nasional
Hakim MK Tegur Kuasa Hukum KPU karena Tidak Rapi Menulis Dokumen

Hakim MK Tegur Kuasa Hukum KPU karena Tidak Rapi Menulis Dokumen

Nasional
Jokowi Tanggapi Santai soal Fotonya yang Tak Terpasang di Kantor PDI-P Sumut

Jokowi Tanggapi Santai soal Fotonya yang Tak Terpasang di Kantor PDI-P Sumut

Nasional
Cuaca di Arab Saudi 40 Derajat, Jemaah Haji Diminta Jaga Kesehatan

Cuaca di Arab Saudi 40 Derajat, Jemaah Haji Diminta Jaga Kesehatan

Nasional
 Saksi Ungkap Direktorat di Kementan Wajib Patungan untuk Kebutuhan SYL

Saksi Ungkap Direktorat di Kementan Wajib Patungan untuk Kebutuhan SYL

Nasional
Pertamina Patra Niaga Akan Tetap Salurkan Pertalite sesuai Penugasan Pemerintah

Pertamina Patra Niaga Akan Tetap Salurkan Pertalite sesuai Penugasan Pemerintah

Nasional
Menteri KKP Targetkan Tambak di Karawang Hasilkan 10.000 Ikan Nila Salin Per Tahun

Menteri KKP Targetkan Tambak di Karawang Hasilkan 10.000 Ikan Nila Salin Per Tahun

Nasional
KPK Percaya Diri Gugatan Praperadilan Karutan Sendiri Ditolak Hakim

KPK Percaya Diri Gugatan Praperadilan Karutan Sendiri Ditolak Hakim

Nasional
Soal Kasus Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, KPK Diminta Evaluasi Teknis OTT

Soal Kasus Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, KPK Diminta Evaluasi Teknis OTT

Nasional
Kaesang Didorong Maju Pilkada Bekasi, Jokowi: Tanyakan PSI, itu Urusan Partai

Kaesang Didorong Maju Pilkada Bekasi, Jokowi: Tanyakan PSI, itu Urusan Partai

Nasional
Mahfud Khawatir Korupsi Makin Banyak jika Kementerian Bertambah

Mahfud Khawatir Korupsi Makin Banyak jika Kementerian Bertambah

Nasional
Persiapan Operasional Haji 2024, 437 Petugas Diterbangkan ke Arab Saudi

Persiapan Operasional Haji 2024, 437 Petugas Diterbangkan ke Arab Saudi

Nasional
Jokowi Tegaskan Jadwal Pilkada Tak Dimajukan, Tetap November 2024

Jokowi Tegaskan Jadwal Pilkada Tak Dimajukan, Tetap November 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke